Love Season Part 1

Love Season Episode 1

~03.49~

Ariel nampak kelelahan, ia terbaring lunglai dengan nafas terengah-engah. Jantungnya kini berdegup keras setelah darahnya berdesir kencang. Adik kecilnya yang baru saja tegak tegang, kini tidur kedinginan dibalut beberapa lembar tisu yang nampak kebasahan itu.

“Tiit.. Tiit.. Tiit..” Ada sesuatu yang berbunyi. Sebuah telepon genggam di samping tempat tidurnya. Revan. Itu yang tertulis di sana.

“Kenapa?” Ucap Ariel dengan mata yang tak sanggup terbuka.

“Gue udah ada di depan rumah Lu. Buruan turun!”

“Hah? Emang udah jam berapa?” Ariel sedikit kaget mendengar temannya itu sudah ada di depan rumahnya. Ia baru saja tidur pikirnya.

“Tuut.. Tuut.. Tuut.” Revan dengan cepat mengakhiri percakapan mereka. Ariel melempar handphonenya lalu bergegas mandi. Setelah mandi, ia langsung menemui Revan yang sudah ada di depan rumahnya. Ia bahkan tidak sempat memikirkan sarapan.

“Kok tumben jemput?” ucap Ariel sambil menerima helm yang disodorkan Revan.

“Hari ini ada piket. Lu gk lupa, kan?” balas Revan.

“Ya. Itu sih gw tau. Tapi biasanya Lo juga gk jemput.” Ariel semakin menjadi dengan sanggahan-sanggahannya. Namun Revan memilih mengabaikannya dan menyuruh Ariel diam saja dan naik ke motor besarnya.

~06.54~

Handphone Ariel berbunyi. Tertulis 1 New Massage from Ira.

“Hi, Ra!” Sinta menyahut ketika melihat Ira yang berdiri di depan kelas mereka.

“Hi..”

“Gimana surprisenya?” Tanyanya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

“Fine. Udah siap.” Jawab Ira mantap dengan senyum berserinya.

“Nih, kado kecil buat si ganteng. Klo kamu gagal, kasih kesempatan buat aku yah!” canda sinta menyerahkan kado kepada Ira.

“Haha,, bisa aja kamu. Doni mau ditaruh dimana? Di Hpku?” Ira balas menggodanya.

“Haha, jangan dong! Yang lain dimana?”

“Ada tuh di dalem. Masuk aja, aku mau jadi pengintai dulu.”

“Ok, Sip. Sini kadonya biar aku simpan di dalam.”

“Hmm..” gumam Ira menyerahkan kado yang tadi diberikan oleh sinta.

Dengan senyum berseri dan penuh semangat, Ira menunggu munculnya sosok yang dinanti-nanti oleh teman-teman satu kelas.

~06.58~

“Ra, gimana? Udah hampir masuk nih.” Ira memutar wajahnya. Ia mencari sumber suara yang memanggilnya.

“Tunggu bentar lagi dong.” katanya setelah mendapatkan sosok Geri mendekatinya.

“Hari ini harusnya Revan sama Ariel datang awal karena mereka ada piket kelas. Tapi kenapa malah mereka barengan telat?” ujar Geri.

“Tunggu satu menit lagi deh,, Abis itu ganti plan B.” kata Ira kembali membujuk.

“Ok deh.” Jawab Geri kembali masuk ke kelas.

-----

“Van, cepetan dong. Udah jam 7 nih. Kita pasti dapat hukuman.” Sahut Ariel di depan WC Umum saat melihat jam tangannya bertuliskan 07:00 AM. Sayangnya Revan tak bersuara. Ariel yakin itu karena tata krama saja. Namun Ariel tak mau diam juga sadar terlambat. Berselang satu menit ia kembali menyahut.

“Van, Lo kenapa? Lo gk papa, kan? Tapi kok dari tadi gw gak dengar suara apapun di dalam? Suara air ataupun Lo. Udah yuk, kita udah telat nih.” Tepat setelah kata-kata itu berakhir, Revan keluar dari toilet tersebut. Ia sedikit menundukkan kepalanya.

Tiba-tiba Ariel memegang wajahnya dan mengangkatnya. Ia melihat mata yang sembab. Revan sepertinya habis menangis.

“Van,?” ucap Ariel dengan suara terkejut yang begitu pelan tertahan. “Kenapa?” lanjutnya.

“Ayo kita pergi!” lagi-lagi Revan tak menghiraukan pertanyaan Ariel.

“Tunggu.” Sergah Ariel. Keduanya kini terdiam.

“Tadi pagi Lo bangunin gw. Lo jemput gw buat ke sekolah, tapi terjebak di sini sampai terlambat. Gw nurut sama Lo, nurut banget. Tapi kenapa setiap gw nanya Lo gk pernah dengerin gw. Di sini gw Ngapain? Apa gw menurut Lo? Sampah? Gw kecewa sama Lo.” Ariel mengeluarkan amarahnya hingga suaranya terdengar lantang dari biasanya.

Revan berbalik. Ia mengangkat wajahnya memandang wajah kesal Ariel.

“Sorry Ril. Sorry karena gw, Lu telat ke sekolah.” ucap Revan kaku tak terbiasa.

“Bukan itu yang gw mau. Gw cuma mau tau ada apa sama Lo. Klo gw ngerti semua ini, Lo gk bakal denger bantahan gw. Gw pasti ikut sama Lo. Lo tau itu, kan? Kita ini temenan.” Ujar Ariel lebih tenang.

Melihat Ariel berkata seperti itu, Revan melangkah maju dan memegang tangan Ariel. “Lu ngerti, kan? Klo gw bakal cerita. Tapi nanti. Kita sahabat. Gw pikir Lu gk bakal lupa sama cara gw selama ini. Gw berharap Lu gk lupa.” Katanya datar agak berharap. Ariel seperti masih ingin bicara, namun ia memendamnya. Merekapun melanjutkan perjalanan.

-----

Ariel terlihat heran melihat dimana mereka sampai. Revan membawa mereka ke puncak. Disana ada suatu tempat yang sering digunakan oleh pasangan muda. Ada tempat duduk di bawah teduh pohon. Angin mengalir tenang, hawa sejuk yang menyegarkan. Membuat orang ingin berpelukan. Pemandangan hijau di siang hari. Malamnya gelap dihiasi pijar bintang dan kunang-kunang.

“Yuk turun!” ajak Revan. Sejenak kata-kata itu tak dihiraukan oleh Ariel. Ia melamunkan sesuatu. Namun kemudian ia mengembalikan kesadarannya dan merespon.

“Kita mau ngapain ke sini? Pacaran? Haha.” Candanya.

“Iya kalau kamu maunya gitu.” Sahut Revan yang sudah agak jauh dari Ariel dan motor besarnya. Sejenak senyum bergaris di wajahnya. Lalu Ariel mengikutinya. Duduk di sampingnya. Mereka duduk berdua menikmati suasana segar puncak.

“Kita akan membagi kelompok. Ada 5 kelompok. Saya ingin tahu jumlah kalian yang hadir. Mana ketua kelasnya?” pak Arman mengeluarkan instruksi demi instruksinya.

“Pak, saya Doni. Wakil ketua kelas. Total kami ada 32 orang. 11 orang laki-laki dan 21 orang perempuan. Hari ini 1 orang sakit dan 2 orang tidak hadir tanpa keterangan. Ketiganya laki-laki pak.”

“Kamu wakil ketua kelas? Mana ketua kelasnya?”

“Namanya Revan, Pak. Dia tidak hadir tanpa keterangan.” Jawab Doni sekali lagi.

“Mengecewakan. Saya pikir dia yang sakit. Baiklah, silahkan tentukan kelompok kalian dan duduklah per kelompok!”

Sementara itu, Ariel dan Revan masih diselimuti kesegaran dan ketenangan hawa puncak. Mereka duduk berdampingan. Ariel mengangkat tangannya perlahan merangkul Revan. Ia membiarkan tangannya menarik menyatukan tubuh mereka. Ariel mencoba meresapi hangatnya tubuh Revan. Membiarkan angin membawa kegelisahan mereka selama ini. Ariel menarik nafasnya pelan, mengumpulkan ketenangan untuk dapat mengeluarkan suara.

“Hufht…”

Sahabat. Kita sudah lama berkenalan. Sudah lama bersama. Aku tahu siapa kamu, kamu tahu siapa aku. Tapi terkadang kita seakan tak mau tau satu sama lain. Entah itu saat ego. Entah itu saat kita masing-masing lelah dengan dunia kita sendiri.

Sahabat. Kini kau dan aku bersama. Aku merangkulmu kali ini. Mungkin esok atau nanti, kaulah yang akan merangkulku. Aku memberimu tubuh kananku. Kau memberiku tubuh kirimu. Dari semua ini kita bisa belajar untuk hari esok yang lebih sulit. Untuk hari ini kita tau, perbedaan di antara kedua sisi tubuh kita tidak memisahkan kita. Kita menyatu karena dua sisi itu. Kita merasa hangat di tengah kesejukan puncak ini.

Sahabat. Ada saatnya satu di antara kita lemah. Berbeda saat kita sama-sama kuat. Berbeda pula saat kita sama-sama lemah. Sebagai sahabatmu. Aku mencintaimu.

Wajah mereka tak sedikitpun berpindah pandangan. Mereka menatap jauh ke depan. Menikmati suara puitis yang khas dari Ariel. Cukup lama keduanya masing-masing merenung. Ariel seperti menangkap keindahan di balik matanya. Ia tersenyum penuh semangat. Ia menghadap Revan yang masih melajukan pandangannya ke alam luas. Revan seakan tahu ia tersenyum. Ia melihat senyum itu sepintas dari ujung matanya. Revanpun tersenyum.

-----

“Stop di sini! Gw mau ngomong sama Lo.” Doni menarik dalam nafasnya dan membuangnya kasar. Seorang gadis dengan rambut tertata menghalangi langkahnya dengan kasar.

Doni menatap gadis itu kesal. Koridor sekolah saat itu sepi oleh siswa. Semua orang sibuk menghabiskan waktu istIrahat mereka masing-masing. Kedua remaja itu kini tertaut dalam ketegangan.

“Cewek itu gk berharga klo berani hadapin cowok duluan.”

“Dan cowok yang nusuk lawan dari belakang itu sampah busuk.”

“Jaga Ucapan Lu!” Doni berteriak saat tangannya hampir melayang ke wajah cantik Ira.

“Ayo Pukul!” teriak Ira tanpa menurunkan tatapan dan telunjuknya yang sedari tadi menghujam Doni.

“Dasar Pecundang!” cacinya. Itu membuat Doni semakin kesal. Tangannya menggenggam erat kerah baju gadis cantik itu.

“Iya, lo itu Cuma pecundang yang Cuma bisa ngaduin kelemahan Revan di depan orang lain.” Kini Ira membalas menarik kerah baju Doni. Gadis 17 tahun ini benar-benar tak kenal takut.

“Klo Lu bukan cewek,,” teriak Doni menunjuk mata Ira.

“Karna dia bukan cowok, lo boleh pergi sekarang.” Ucap seorang gadis yang tiba-tiba muncul dari balik tembok di belakang Doni.

“Oh, dua lawan satu?” Ira terkekeh. Kini ia melepaskan tangannya dari kerah Doni. Ia juga melepaskan kerahnya dari genggaman Doni dengan mudah. Sementara Doni masih menatap Sinta yang menatap geram ke arah Ira.

“Hmm,, lo gk dengar tadi gw bilang apa?” tatapan Sinta sepertinya semakin tajam.

“Don, cewek ingusan gk cocok buat kamu. Biarin aku yang nyapuin jalan kamu.” Lanjutnya tanpa sedikitpun membuang matanya.

“Hmh..” Doni mendengus dan mulai melangkah pergi.

“Asal jangan sampai rambut kamu berantakan. Aku gk suka cewek singa.” Kini Doni bisa mengucap kata-katanya dengan tenang. Ia tak lagi harus menghadapi gadis kasar seperti Ira. Suasana kembali menegang dan semakin menegang. Dua gadis yang tadi pagi bercanda kini saling menautkan tatapan nanar mereka ke arah lawan.

~09.23~

“Tuut.. Tuut..” bunyi Handphone Ariel untuk ke sekian kalinya. Tertulis 12 missed calls & 7 new massage.

“Handphone Gw?!” teriak Ariel tiba-tiba di tengah gelak tawanya dengan Revan.

“Kenapa?” suasana mendadak serius.

“Handphone Gw Di mana?” Ariel meraba-raba saku celananya.

“Coba cari di tas.” Saran Revan. Ariel menurut saja. Ia merogoh kan tangannya ke dalam tas dan mengeluarkan sesuatu.

“Gk ada juga.” Ariel putus asa. Wajahnya mulai cemberut. Digenggamnya sebuah buku agenda.

“Paling ketinggalan.” Ucap Revan santai. “Dasar anak pelupa.” Tambahnya sambil menjitak dahi mulus milik Ariel.

“REVANN!” Ariel berteriak. Matanya memerah. Revan menggembungkan pipinya, tak mampu menahan tawa.

“Ini semua gara-gara Lo.” Teriak Ariel lagi. Dengan cepat Ariel mencubit perut Revan dengan sangat kuat.

“Aw.. Sakit! Lu mah, Ah.!” Desisnya. “Ahaha,..” dan berganti gelak tawa lagi setelah Ariel berhasil menggelitikinya.

Lelah tertawa, mereka merebahkan diri sejenak di atas serambi tempat mereka duduk itu.

“Krk..” “HaHaHa..” suara tawa mereka kembali terdengar setelah bunyi perut Ariel membuat mereka bertatapan.

“Van, gw laper. Makan yuk!” rengek Ariel mengubah bentuk wajahnya.

“Gk ah gw gk laper. Lagian gw masih pengen di sini.” Jawab Revan serius. Ariel sepertinya ingin bicara. Tapi melihat mimik Revan yang seperti itu, ia jadi mengurungkan niatnya. Wajah Revan menatap langit seperti berkata, “Apa maumu tuhan?”

“Krk,,” suara perut kembali terdengar. Namun kali ini bukan milik Ariel.

“Yakin masih mau di sini?” goda Ariel mencolek Revan.

“Heheh, ketahuan yah?” kekeh Revan. Kedua sahabat ini lalu berjalan ke motor besar Revan.

“Ra, plan B jadi kan?” bisik Renata saat pelajaran berlangsung. “Ra, lo dengar gk sih? Ra! Ra?! Ira..?!” Renata menjadi tidak sabaran saat tak mendapati respon dari sahabatnya yang duduk tepat di depannya itu.

“Iya, ada apa Renata?” mata Renata membulat besar. Jawaban itu bukan dari Ira, tapi dari bu Siska.

“Mampus aku..” keluhnya dalam hati.

“Kenapa kamu tidak menjawab?” dalam sekejap langkah bu Siska sudah sampai ke sampingnya.

“A.. Anu Bu. Ituloh, Iranya ketiduran, makanya saya bangunin.” Bu Siska melihat ke arah Ira, lalu mengangguk tanda mengerti. Alas an Renata sepertinya berhasil. Sesaat kemudian, Ira yang sedari tadi menundukkan kepalanya tiba-tiba mengangkat kepalanya. Ia berbalik melihat gurunya, lalu menatap nanar ke arah Renata. Kembali ia menatap gurunya dengan raut tak bersalah.

“Gk kok Bu, saya gk tidur. Ini, tadi Renata nanyain urusan di luar sekolah ke saya. Masa dia mau diskusiin rencana surprise Revan di kelas yang lagi belajar?” Ira membeberkan semuanya. Wajahnya menyeringaikan sorak kemenangan atas Renata yang kini berekeringat dingin.

“Kalian berdua ke kantor setelah pelajaran selesai.” ucap bu Siska.

“Tapi Bu,,” Renata merengek. “Gk ada tapi-tapian.” Putusnya lagi.

“Kok saya juga Bu?” ucap Ira membuat bu Siska menatap nanar ke arahnya. Bu Siska tak bicara, hanya alisnya yang terangkat seperti berkata, “Masih nanya?”. Mengerti akan hal itu, Ira pasrah juga. Ia menghentakkan tubuhnya ke kursi.

“Sekarang mari kita lanjutkan…” sahut bu Siska melanjutkan.

-----

Revan masih melajukan motor besarnya. Di belakangnya, Ariel masih terhanyut menikmati segarnya udara perjalanan mereka. Bukan hanya udara pegunungan, tapi juga aroma tubuh Revan yang terbawa angin ke arahnya.

TREEEEK....

“VANN!! Hati-hati dong!” teriak Ariel. Ia terkejut karena motor besar itu meloncat. Lamunannya terhambur mengagetkannya. Sesaat kemudian jantungnya serasa berhenti. Matanya melirik ke bawah pinggang Revan.

“Maaf, tadi ada jalan rusak gk kelihatan.” Jawab Revan sedikit berteriak sambil memelankan kecepatan motornya. Tapi Ariel masih terdiam. “Riel, Lu gk apa-apa kan?” teriak Revan lagi. Namun orang yang dipanggil tak kunjung menyahut. Revan menjadi bingung. Sedikit ia menoleh ke belakang. Tiba-tiba ia merasakan Ariel menarik tangannya yang sejak loncatan motor tadi telah melingkar di perutnya.

“A.. Ah, kenap.. pa?” Ariel menjadi gagap. Wajahnya mendadak merah padam dan memanas. Ia tak mampu menyembunyikan kegugupannya saat itu. Ariel memilih memalingkan wajahnya dari tatapan Revan. Tiba-tiba motor berhenti.

Kali ini Revanlah yang jantungnya seperti berhenti. Ternyata kehangatan yang ia nikmati itu adalah pelukan Ariel. Pelukan Ariel yang nyata, bukan khayalannya. Kedua remaja itu berdiri dengan kegugupan yang menguasai mereka di pinggir jalan yang sepi. Tidak ada kata. Tidak ada suara. Hingga...

“Kita mau sampai kapan berdiri di sini? Udah yuk, laper nih.” Katanya masih sedikit bergetar. Dia Ariel. Berhasil menyadarkan dirinya lebih dulu dari teman tampan di depannya. Revan yang berdiri di depannya hanya mengangguk, lalu melanjutkan perjalanan mereka. And..

~To Be Continued…~

Episode Selanjutnya :

Mata mereka bertemu dengan sama-sama membulat. Hidung, mereka telah menempel. Dan bibir mereka tinggal berjarak satu centimeter. Tangan Revan masih erat menggenggam tangan Ariel. Kehangatan tubuh mereka menyatu antara depan dengan belakang. Perlahan Ariel menutup matanya. Revan ikut menutup matanya sendiri, perlahan dan perlahan. Hati dan jantung yang berdegup begitu keras di bawah langit hangat yang biru. Dengan tubuh yang menempel. Revan mencoba sedikit demi sedikit memajukan bibirnya sedikit lebih dalam. Berharap kedua bibir itu segera bersentuhan. Kini jarak satu centimeter itu serasa seperti berkilo-kilo. Rasa ingin dan ragu menggejolak di dalam hati kedua pria yang tengah ingin bergumul lidah ini. Dan masih, Revan masih mencoba memajukan bibirnya lebih dalam.

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8