Love Season Part 2

Love Season Episode 2

Ariel dan Revan sama-sama terdiam karena terjebak dalam suasana aneh ketika hendak turun dari puncak. Namun untungnya Ariel berhasil menguasai dirinya lebih dulu.

“Kita mau sampai kapan berdiri di sini? Udah yuk, laper nih.” Katanya masih sedikit bergetar. Revan yang berdiri di depannya hanya mengangguk, lalu melanjutkan perjalanan mereka.

Tak berapa lama Ariel dan Revan sampai di sebuah desa sebelum masuk wilayah kota. Mereka berhenti tepat di depan sebuah rumah makan lesehan unik. Terlihat seperti restoran di atas sungai. Rumah makan itu menyediakan berbagai macam menu olahan ikan air tawar, bahkan ada layanan memancing juga di sana. Setelah dipancing, baru dimakan. Eh, diolah dulu maksudnya.

“Kita ngapain ke sini, Van?” Ariel turun dan membuka helmnya.

“Lu kan Laper, masih nanya?” ketus Revan membuat darah Ariel mendidih.

“Ok, fine. Kita mau makan ke sini. Tapi kita Cuma,,,”

“Iya, kita juga mancing.” Kata-kata Ariel terpotong oleh Revan yang merangkulnya berjalan masuk ke dalam pondok rumah makan.

“Mancing 2 orang.” Revan memesan saat sampai di depan manajer rumah makan tersebut.

“Aku kan gk suka mancing Revan.” Protes Ariel memanyungkan bibirnya.

“Suka gk suka, kita mancing.” Bantah Revan. Tak berapa lama, manajer tadi datang kembali.

“Sudah tuan. Mari saya antarkan.” Ucap pria paruh baya itu merendah di hadapan Revan. Ariel mencubit perut samping Revan dengan pelan hingga Revan memekik. Revan mengerti apa maksudnya.

“Makasih Pak. Tapi gk usah Pak, Bapak kembali kerja lagi saja.” Ucap Revan tersenyum disambut bapak itu dengan sangat senang. “Ohya, jangan panggil saya tuan yah Pak. Ok?”

“Baik Tuan.” Jawab bapak itu membuat Revan menatapnya lekat. Revan memicingkan matanya sedikit. Lalu bapak tua itu mengerti dan berkata, “Baik Mas.”

“Bolehlah.” Ucap Revan. Sedangkan Ariel tak berhenti tersenyum mengamatinya. “Ohya, jangan kasih tahu mama sama papa kalau saya ke sini.” Pesannya lagi sebelum masuk dan menghilang dari pandangan bapak tua itu.

“Ohya Van, gw mau nanya nih ke lo. Gw Cuma kepikiran aja.” Ucap Ariel di tengah perjalanan ke tempat pemancingan. Revan tak merespon, itu artinya Ariel boleh bertanya. Sikap Revan memang sering berubah-ubah, namun sebagai sahabatnya, sudah wajib bagi Ariel untuk mengerti semua hal itu.

“Bapak yang tadi itu kan udah lama banget nih kerja sama orang tua lo, kira-kira kapan yah beliau akan pensiun?”

“Nanya apa sih Lu?”

“A,, Anu.. Ah. Gk jadi deh.”

“Kenapa? Kok Lu care banget?”

“Gk juga sih. Kasihan aja liat dia udah tua gitu masih kerja. Terakhir kali kita datang kan udah dua tahun yang lalu, gw masih ingat sikap lo ke dia.” Revan menghentikan langkahnya disusul Ariel kemudian. Ia menatap Ariel dalam. Ariel mulai merasa risih, ia sadar bahwa Revan mulai marah karena dia mengungkit keburukan dalam diri Revan.

“Maaf Van, gw gk maksud gitu.” Ucap Ariel bersalah. Ia hanya berani menundukkan wajahnya di hadapan pemuda keras di depannya itu. Revan sendiri Nampak bingung ingin berkata apa. Tanpa berbicara sepatah katapun ia merangkul Ariel dan melanjutkan perjalanan mereka.

Sementara itu, Ira dan Renata masih terdiam di hadapan bu Siska. Mereka masih tidak berani melihat ibu guru tersebut dengan jelas. Sementara bu Siska sendiri masih sibuk dengan lembaran-lembaran di hadapannya. Dengan kepala yang masih tertunduk, kedua gadis ini terus menggigit bibir bawah mereka. Perasaan tak tenang merayapi hati gadis-gadis itu. ‘Apa yang akan menjadi hukuman bagi mereka dan sekejam apakah bu Siska ini sebenarnya?’

Sereret.. bu Siska menanda-tangani berkas terakhir di tangannya kemudian menutup berkas itu. Senyumnya memperlihatkan kebebasan hatinya saat itu. Perlahan mata sinisnya menatap tajam ke arah 2 orang siswi di hadapannya.

“Kalian tahu kenapa kalian di sini?” DeG! Serasa ingin copot jantung kedua remaja itu oleh suaranya.

“Ti.. Tidak Bu.” Jawab Ira.

“Kalau Renata?” mata bulat bu Siska kini tertuju kepada Siska yang semakin gugup.

“Saya tahu Bu.”

“Hm,, kenapa? Bisa kamu jelaskan untuk saya?” semakin lama bu Siska semakin menjadi menakuti Renata dan Ira. Renata sendiri masih mengatupkan bibirnya, ia bingung harus menjawab apa.

“Kenapa tidak dijawab Renata?”

“A.. Ah..” Renata menjadi gugup, setengah suaranya menghilang.

“Yang jelas dong, masa Cuma A, Ah..” bentak bu Siska masih sedikit halus.

“Maaf Bu.” Renata terduduk lemas dan Ira berusaha menahannya. Kekokohan tulangnya tak mampu menopang tubuhnya yang lemas bergetar karena rasa takutnya. Ira sampai menetsekan air mata melihat sahabat kecilnya terkulai seperti itu.

“Hah?” bu Siska mendesah melihatnya. Beliau juga Nampak terkejut oleh kejadian itu dan segera menolong Renata. Setelah mendudukkan Renata ke kursinya, ia berkata, “Padahal kan saya Cuma bercanda.”

“Hah?” teriak kedua gadis itu berbarengan.

“Yaah, kaget lagi. Masa iya sih wajah seantik ini punya hati nenek lampir?” kali ini bu Siska membuat bingung Ira dan Renata dengan wajah lemah tak bersalahnya.

“Saya tadi Cuma berakting. Gk taunya sampe segininya. Maaf yah.” Ucapnya tulus.

“Aah Ibu. Kami kan jadi lemes Bu.” Rengek Ira memprotes. Sementara Renata masih berusaha mengembalikan kekuatannya.

“Saya kan sudah bilang maaf. Lagian, kalian juga yang salah. Saya kan wali kelas kalian, masa kalian gk tahu kalau saya ini lembut?”

“Benarkah? Tapikan Ibu baru seminggu jadi wali kelas kita.”

“Cepet banget.” Ira terkejut melihat Renata yang tiba-tiba saja berbicara .

“Hihi..” mendadak bu Siska tertawa kecil sambil menutupkan tangan ke mulutnya.

“Kenapa Bu? Ada yang lucu?” gadis-gadis ini menjadi bingung lagi.

“Gk kok, gk ada yang lucu.” “Ya sudah, karena kalian sudah terlanjur di sini, Ibu mau nanya rencana kalian tentang surprise untuk Revan. Kalian mau kan bantuin ibu biar bisa dekat sama yang lain?” oh ternyata.. akhirnya bisa dimengerti. Bu Siska memang unik.

“Hahwh..” Ariel menguap singa di tengah pemancingan mereka. ‘Klop!’ sebuah anggur tepat menuju sasaran. Masuk ke dalam mulut Ariel.

“I.h.. Lo?!” Ariel mencoba berteriak meskipun anggur itu menyulitkannya bicara.

“Hahaha..” Revan tertawa lepas melihat tingkah lucu Ariel.

“Mm, Rese’!” Ariel merutuk sambil menggigit habis anggur di mulutnya. “Aw,”

“HahaHahaha.. HahaHahaha..” Revan semakin lepas melihat Ariel yang semakin menggemaskan.

“Pait.., chffth..” rengeknya sambil meludahkan biji anggur dari mulutnya.

“Aahahahahahaha..”

“Revann.!..!!” Ariel terlihat bagai badai yang akan segera meluncur mengejar Revan.

“Ah,, digigit.. digigit.” Revan berteriak menunjuk ke tongkat pancing Ariel. Secepat kilat Ariel menarik hasil pancingannya. Namun meskipun menarik dengan sekuat tenaga, Ariel yang tak pernah suka memancing membuatnya kesulitan menangani lawannya yang ada di dalam air itu.

“Van…!” Ariel berteriak meminta bantuan Revan.

“Yaelah,, gini aja susah.” Keluhnya sambil berdiri di belakang Ariel. Perlahan ia menggenggam tangan Ariel dari belakang. Tentu saja perlakuannya membuat panas wajah Ariel.

“Tarik Ril!” teriaknya sama sekali tak dihiraukan oleh Ariel.

“Riel, Tarik!” teriaknya lagi sambil menarik dengan sekuat tenaga..

“Ah,, iya iya.” sahut Ariel baru menyadarkan diri. Semua terasa lambat saat itu.

“Tahan… Tarik… Tahan.. Tarik.. Tahann.... Tarik yang kencang!” teriakan Revan di telinganya pun terasa lambat dan bermakna.

Ariel mulai memberanikan diri menengok ke arah Revan. Ia menikmati gerakan mulut dan tatapan tajam Revan yang serius pada pancingan mereka. Ingin sekali rasanya menyentuh kulit itu, membelainya dan mencium bibir itu. Jarak antara matanya dan wajah Revanpun terbilang hanya 5 centimeter saja. Terpaksa ludahnya harus ditelan sendiri.

“Van?” ucapan Ariel tanpa sadar melesat masuk ke telinga Revan. Revan dengan spontan mengikuti arah sumber suara.

DeG! Mata mereka bertemu dengan sama-sama membulat. Hidung, mereka telah menempel. Dan bibir mereka tinggal berjarak satu centimeter. Tangan Revan masih erat menggenggam tangan Ariel. Kehangatan tubuh mereka menyatu antara depan dengan belakang. Perlahan Ariel menutup matanya. Revan ikut menutup matanya sendiri, perlahan dan perlahan. Hati dan jantung yang berdegup begitu keras di bawah langit hangat yang biru. Dengan tubuh yang menempel. Revan mencoba sedikit demi sedikit memajukan bibirnya sedikit lebih dalam. Berharap kedua bibir itu segera bersentuhan. Kini jarak satu centimeter itu serasa seperti berkilo-kilo. Rasa ingin dan ragu menggejolak di dalam hati kedua pria yang tengah ingin bergumul lidah ini. Dan masih, Revan masih mencoba memajukan bibirnya lebih dalam.

Sreet...

“Ah, Van!” Ariel tiba-tiba berteriak merasakan tongkat di tangannya ditarik oleh sesuatu yang besar di dalam air tersebut. Wajahnya tertarik jauh ke belakang. Dan Revan yang nampak mulai menyadarkan dirinya itu dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah tongkat pancingan itu.

“Tarik Riiel,,” teriaknya sekaligus mencoba menghapus ingatan tentang kejadian yang barusaja ia alami.

“Tahan.. Tarik.. Tahan.. Tarik yang kencang..!” Dan momen itu berakhir begitu saja dengan dua pria muda yang kini sama-sama dalam usaha keras untuk menganggapnya tak pernah terjadi.

-----

“Ra, gw duluan yah..! Nat..!”

“Iya, jangan lupa nanti yah..” balas Ira sambil melambai ringan kepada Geri, sedangkan Renata hanya membalas dengan senyuman ringannya.

“Kok tumben yah Sinta gk ngerocos? Padahal kan ini ultahnya Revan..” Renata mulai membuka sesi diskusi dalam perjalanan pulang mereka. Namun Ira tidak menunjukkan reaksi sama sekali. Hal ini menjadi semakin menarik bagi Renata. “Hayoo,, pasti ada sesuatu niih..” lanjutnya.

“Lo mau tau?” Ira berhenti di depan sebuah kursi taman. Setelah menarik nafasnya dalam, perlahan Ira menduduki bangku itu dan disusul oleh Renata yang menatapnya dengan wajah penasaran.

“Huh,,” untuk menjelaskan hal ini bukanlah sesuatu yang mudah bagi Ira. Ia membutuhkan kekuatan untuk bisa tenang mengingat masalah ini.

“Gw gk tau apa-apa.” Lanjutnya membuat Renata kecewa. Namun Renata dapat melihat sela di matanya. Tinggal satu langkah lagi, ia pasti bisa menemukan cerita di balik Ira dan Sinta.

“Ohiya, tadi Lo kemana waktu ninggalin gw sendirian ke kantin?” Renata punya harapan besar kalau pertanyaan ini akan memberinya jawaban. Ia menyapu bersih mimik wajah Ira tanpa sekalipun berkedip.

“Gw juga gk liat Sinta di sana.” Tambahnya memancing Ira.

“Ok, Lo benar.” Ira menyerah dan mendesah untuk yang ke sekian kalinya.

“Tadi ceritanya gw ngelabrak Doni. Endingnya gw berhadapan sama Sinta. But the game is not over yet..”

“Ow... tapi kenapa Lo labrak Doni?”

“Ingat jamnya pak Arman tadi?”

“Ohw,, I see..” Renata mengangguk tanda mengerti. “Btw, kita ngapain duduk di sini ya?”

“Gw mau bahas tentang hal itu sama Lo.” Ira nampak serius menjawab pertanyaan Renata.

“Bahas apaan?”

“Menurut Lo, apa maksud Sinta ngomong ke gw klo rencana kejutan kita gk bakal berhasil?”

“Mungkin itu Cuma gertakan buat nakut-nakutin Lo. Yah, bisa jadi karena emosinya bikin dia ngomong ngelantur.”

Ucapan Renata mungkin benar, namun Ira masih merasa tidak tenang. “Klo mereka punya rencana buruk gimana?” Ira mulai dalam nampaknya. Kepalanya tak mampu berpikir jernih.

“Hmh? Klo mereka punya rencana buruk?” Renata bertanya balik seakan tak percaya sahabatnya bertanya seperti itu. Namun melihat wajah Ira yang begitu khawatir, terpaksa ia harus memberi jawaban. Entah apapun  itu.

“Klo rencana mereka berhasil, berarti kita udah tau siapa dalangnya. Gimana?” Renata tersenyum puas seakan tak membiarkan sahabatnya untuk meragukan jawabannya.

“Lo benar. Tapi gw masih khawatir.” Ucap Ira dengan wajah stressnya.

“Ayolah, Ira kan cewek kuat. Lagian ada gw sama teman-teman yang lain kok.” Renata mencoba menenangkan Ira, tangannya mengusap bahu Ira memberinya kekuatan. “Ohya, lagian tadi pagi kan Doni sama Sinta kadonya udah kita terima.”

“Hah? Doni ngasih kado buat Revan?” teriak Ira terkejut.

“Iyaa,. Jadi tadi dia nitipin ke Geri gitu.”

“Lo tau gk isinya apaan?”

“Ya, gk lah. Masa kado buat orang mau dibuka-buka? Kan gk sopan.”

“Gimana klo isinya teror, bom atau yang lainnya?”

“Iih,, nyantai aja kali. Lo terlalu berlebihan. Bagaimanapun juga, kita itu teman kelas. Gk mungkin Doni sejahat itu. Percaya deh!”

Ya, tidak dapat dipungkiri bahwa Renata memang benar. Bagaimanapun khawatirnya Ira karena hal-hal aneh dalam pikirannya, Ira harus sadar bahwa itu karena dia terlalu berlebihan. Berlebihan menyukai Revan. Tapi tunggu, sejak kapan Renata bisa ngomong bijak kek gitu?

“Yeah! Akhirnya!” sorak Ariel saat duduk di depan sebuah meja makan. Akhirnya ia mendapatkan waktu makannya juga. Tempat makannya adalah sebuah ruangan VIP. Ada beberapa bilik VIP di sana. Salah satunya telah terisi oleh dua remaja laki-laki itu. Nuansa romantis sengaja di seting dalam ruangan itu khusus untuk para pengunjung VIP yang memang ingin berkencan atau berduaan saja.

“Ikannya besar juga yah?”

“Iyah, untung juga yah klo mancing. Heheh,,.”

“Hah, klo gk ada gw emang Lu bisa dapet ikan?” Revan mulai meledek Ariel.

“Ihsyy..” desis Ariel seakan hendak melahap kepala Revan yang tersenyum menyindirnya.

“Tapi ikannya besar gini emang bisa habis?”

“Bisa dong, kan buat berdua.” Jawab Ariel polos. Sementara Revan mengubah mimik wajahnya sedikit tak percaya.

“Haah.. Gw gk suka makan ikan kali.” Sahutnya dengan mempertunjukkan wajah buruknya.

“Lah,, kok gitu? Terus kenapa Cuma ada satu ikan di sini? Emang Lo Cuma makan nasi putih? Lagian kenapa Lo harus mancing klo gk suka ikan? Kok bisa suka mancing tapi gk suka ikan?”

“Hahaha.. tuh kan, begonya keliahatan. Ngerocos mulu.” Revan tertawa sambil menunjuk Ariel. Ternyata dia hanya berpura-pura.

“Ih,” bentak Ariel memukul tangan Revan yang menunjukinya.

“Iya, Lu itu bego. Klo emang Lu yakin apa yang Lu pikirin itu benar, Lu Cuma perlu ngomong kesimpulannya aja. Gk perlu ngerocos panjang lebar gitu. Dasar kebanyakan langkah. Matematika Lu dapet berapa sih? Hahaha..” Revan semakin gelak tertawa.

“Gw dapet 100. Bukannya Lo yah yang dapet maksimal 60? Hellow? Pura-pura lupa yah?”

“Haha, iya juga ya, sampe lupa. Tapi klo gw mau serius, nilai gw pasti lebih dari seratus. Dan yang pasti, gk lelet kyak Lu.” Revan mengusai sesi merendahkan kali ini. Ia bahkan bebas memainkan jarinya di kening Ariel. Ariel tahu dia sudah kalah. Lagi pula perutnya sudah meminta isi ulang tenaga.

“Ih, udah ah. Gw mau makan..” Ariel memukul jari Revan yang menempel di keningnya.

“Eh ntar dulu.. nyalain musik dulu.. baru makan..” seru Revan untuk menahan Ariel. Lalu ia bangkit dan berjalan ke arah sebuah meja. Di atas meja itu terlihat sebuah rak piring hitam.

Ariel menatap Revan dari belakangnya dengan rasa penasaran sekaligus heran. Sejenak Revan memutar tubuhnya melihat Ariel. Lalu ia tersenyum puas. Wajahnya terlihat berseri-seri melakukan hal itu. Ariel sendiri terlihat salah tingkah oleh polahnya. Kemudian ia berbalik lagi. Tangannya memilih-milih di antara piring hitam yang ada. Setelah mendapatkan satu, ia memasangnya. Alunan musik mulai terdengar. Revan kembali mendekati Ariel yang nampak terpaku.

“Woe! Ngelamun aja. Gimana? Suka?” sahut Revan mencoba membuyarkan wajah kaku Ariel.

“Itu.. kenapa ruangan ini kyak gini yah? Rasanya romantis banget.. Maksud gw,, kenapa kita masuk ke sini? Lilin di atas meja. Cahaya remang-remang. Serasa kyak orang lagi kencan di drama aja. Makan di restoran yang mejanya sudah dipesan khusus untuk berduaan...” Revan mulai menelan ludahnya sendiri. Bahkan matanya terpaksa membulat hampir keluar.

“Lilinnya wangi mawar, kita duduk berduaan dan berhadapan.. dan.. dan.. Lo nyalain musik klasik yang entah apa judulnya itu. Tapi gw yakin itu buat orang yang lagi pacaran di luar negeri.. musiknya romantis,,”

“Lo mau bilang apa sih?” sanggah Revan gugup.

“Lo gk suka sama gw, kan? Gw bukan cewek loh, Van.” Ariel terpaksa menanyakan hal itu kepada Revan. Meskipun terdengar seperti sedang bercanda, tapi ia benar-benar membutuhkan jawaban Revan untuk mengusir keresahannya sendiri. Sementara itu Revan hanya diam. Ia masih memikirkan tentang apa yang harus ia jawab.

“Van?” Ariel mengejutkan Revan yang sibuk melamun untuk menagih jawabannya yang ia minta.

“Hah?”

“Lo gk suka sama gw, kan?” Ariel seperti takut klo dia benar.

“Ngomong apa sih Lu?! Makan yuk! Laper nih.. lagian gw masih waras kali..” secepat kilat Revan menyanggah, namun tingkahnya yang aneh sangat menunjukkan isi hatinya yang sebenarnya. Beruntung karena Ariel juga tak ingin curiga.

Sementara itu Revan sendiri masih bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Bagaimana isi hatinya yang sebenarnya dapat disebutkan? Apakah itu sebuah cinta, atau hanya persahabatan aneh yang teramat dalam? “Masa sih gw emang suka sama dia?” dahinya mengerut. “Gk. Gk mungkin,, Gw gk boleh..” teriak batinnya.

“Oh gitu..!!” ucap Ariel kembali menanggapi. Mata Revan hampir keluar mendengar tanggapan Ariel yang tiba-tiba. Ia terkejut kalau Ariel bisa membaca pikirannya.

~ To Be Continued...~

Episode Selanjutnya : “Lu bisa baca pikiran gw?” teriak Revan terkejut. Dalam hatinya ia merasa sangat malu dan takut ketahuan. Getaran tubuhnya pun tak dapat disembunyikan. “Iya, gw bisa baca pikiran Lo...”

Eng Ing Eng.. Wkwkwk..~

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8