Menghapus Jejakmu

Halo Teman-Teman, cerita ini kuambil dari blog sebelumnya yang berjudul *sensored* dan kuubah judulnya menjadi Menghapus Jejakmu. Cerita ini cukup panjang karena berisi luapan isi hati dari seorang teman, kaum pelangi juga. Dia pernah mengunggah cerita ini di situs Cerpenmu, namun karena beberapa hal, akhirnya ia meminta pihak website untuk menghapusnya. Dan kali ini, tenang saja, tulisan ini kami unggah setelah meminta persetujuan dari pemilik cerita kok. So, guys, selamat membaca!

Daftar isi : (Bisa langsung klik biar gk capek scroll. Kalau udah nyampe bawah dan pengen balik ke atas bisa tekan Ctrl+Home yah!!)
Menghapus Jejakmu
Hari Yang Menyebalkan
Alisku Alismu Tebal
Malam Yang Pahit
Obat Terindahku
Tapi
Dan Terakhir

Menghapus Jejakmu

Surat lusuh itu, aku hampir lupa kini dimana terapungnya. Aku baru saja ingin berkata bahwa benda aneh itu mungkin telah terhanyut bersama banjir setahun lalu. Untungnya aku teringat, bagaimana aku lupa tentang sakitku selama dua tahun ini. Kini ia telah terbakar, menjadi abu. Tangan mungil itu, gadis cantikku telah membakarnya untukku.

Namaku Angga, kini aku sedang terombang ambing dalam gelombang cinta. Malam ini teman-temanku jadi saksi terbesar perubahan hatiku yang sejak lama aku impikan. Meski tak mereka sadari. Angga Febrian adalah nama yang sering terdengar di sekolah mungil kami, terutama ketika upacara bendera yang rutin kami laksanakan pada senin pagi. Aku adalah seorang yang cukup terkenal karena kecerdasanku, bukan karena tampangku.  Pertama kali namaku tersebar adalah ketika pengumuman penerimaan murid baru. Aku keluar sebagai peringkat pertama, maka dengan pasti aku akan memiliki peluang besar mengikuti program kelas akselerasi, kelas idamanku.

Tiba hari pertama masa orientasi sekolah kami. Aku dan temanku yang tinggal di sebuah desa di kabupaten yang jauh dari pusat kota harus merasakan aneh nya sensasi terlambat. Perjalanan menuju SMA impianku itu sebenarnya hanya memakan waktu dua jam. Hanya saja bagi kami yang belum terbiasa bepergian, itu waktu yang lumayan menguras tenaga. Terlebih karena kami mabuk kendaraan roda empat.

Singkat cerita, setelah salah masuk kelas kami berhasil menemukan tempat kami masing-masing. Aku mulai merasa risih sejak pertama menginjakkan kakiku ke kelas itu. Semua mata tertuju padaku. Ada yang tersenyum padaku. Dua orang gadis cantik, teman-temanku. Teman SMP dulu yang kini jadi sahabatku. Sayangnya senyuman mereka dikalahkan oleh tatapan aneh dari seluruh warga kelas, terutama para gadis. Ada apa? Apa karena aku terlalu acak-acakan? batinku. Hari itu meninggalkan tanda Tanya yang banyak di kepalaku.

-----

Hari Yang Menyebalkan

Beberapa hari usai MOS, aku menemukan hari yang menyebalkan. Hari itu kami kedatangan tamu. Siswa satu kelasku serentak merasa heran dengan sesosok yang tiba-tiba mencoba berbaur dengan kami. Entah sejak kapan dia ada di antara kami yang sedang asyik bercerita. Bla bla bla.. tak kuingat awalnya dari mana, aku sudah adu mulut dengannya. Kehadirannya membuat teman-temanku menjahiliku. Akupun pergi memisahkan diri. Siapa sih anak aneh ini? gerutu hatiku tak terima diperlakukan seperti itu oleh mereka. Tak lama kemudian aku tahu namanya Rangga, lengkapnya Adrian Marangga. Beberapa hari kemudian namanya meleganda, jauh melebihi namaku. Gadis-gadis di kelasku memberinya banyak gelar, seperti anti badai karena bulu matanya yang lentik bagai unta si antai badai, dan yang lainnya terlalu banyak hingga aku tak mau mendengarnya dan tak mengingatnya. Aku masih tak akrab dengannya meski nama kami mirip.

Hari berganti hari, waktu berjalan mengubah atas menjadi bawah. Aku tak tahu awalnya dari mana, aku dan Rangga berjalan bersama, belajar bersama, terlalu banyak waktu yang kami habiskan bersama. aku sempat mendengar ada obrolan ringan yang mengatakan bahwa kami dua sahabat yang perfect. Sama-sama ganteng, dan pintar.

“Wah, gk salah? Rangga emang ganteng, tapi aku?” batinku berargumen dengan bukti nyata bahwa selama ini memang jarang sekali orang yang menyebut paras ini tampan. Bibirku tebal tapi tidak doer kebawah atau keatas, hidungku terlalu besar, begitu pula lubangnya, alis tebal dan menyambung satu sama lain, gigiku lumayan rapi, aku juga sedikit jerawatan, meski akhir-akhir ini kusadari sedikit bersih, warna kulitku tak menentu, namun kini lebih sering terlihat cerah. Sedangkan Rangga, bibirnya tipis indah, hidungnya tajam dan mancung, giginya bak serigala, sungguh manis bila dilihat, warna kulitnya selalu tepat dipakainya. Bila coklat menghampiri, ia mulai nampak masculine dan saat cerah hadir, ia berubah tampan sekaligus manis dengan rambut yang tertata sesukanya.

Aku dan Rangga menjadi sahabat baik. Rangga yang mulanya malas-malasan kini menjadi semakin rajin di mata bapaknya yang juga seorang guru matematika di sekolah kami. Hanya beliau tak tahu bahwa anaknya ke kos ku hanya untuk bermain PS dengan teman sekamarku. Sedang aku menonton dari sampingnya, kadang sambil aku tiduran, kadang sambil mengerjakan PR kami untuk ia bawa pulang, tapi lebih sering dengan mondar mandir ke kamar teman gadisku yang menanyakan tentang sosok Rangga yang selalu menarik perhatian orang itu. Begitulah setiap malam ia habiskan di tempatku.

Suatu hari Rangga datang tanpa membawa laptop yang biasanya mereka pakai bermain PS. Akhirnya aku punya waktu bersama sahabatku ini. Aku terbaring di sampingnya yang duduk di tepi atas ranjangku. Kami sangat dekat hingga mersakan kenyamanan kami. Aku mulai buka mulut dan bercerita. Kami habiskan waktu malam itu dengan bercerita banyak hal tentang hidup kami. Untungnya Beni, teman sekamarku tak terlalu mengganggu. Aku merasa senang, akhirnya sebagai sahabatnya aku dapat memahami dan mengetahui kisah hidupnya lebih dalam seperti yang para sahabat lain lakukan. Ia tipe orang yang cukup acuh dan menutup diri dari menceritakan sisi dalam dirinya. Hingga malam mulai memanggilnya pulang dan membuat hidupku kembali terasa hampa. Begitu hampa. Seperti tak ada orang di sisiku lagi. Tak ada kehidupan, hanya ada kegelapan. Begitu rasanya jika Rangga meninggalkanku meski Beni ada di kamar kami. Jantungku serasa diremas, ngilu rasanya.

-----

Alisku Alismu Tebal

Suatu pagi yang indah aku berangkat ke sekolah bermodalkan senyuman karena akan kembali bertemu dengan teman-teman dan semua hal tentang sekolah yang aku sukai. Pintu kelas terlihat dari kejauhan. Nampaknya pintu terbuka lebar, namun jendela masih tak tertembus mata karena ada gorden yang membatasinya. Aku semakin riang melangkah. Tepat dua langkah sebelum pintu kelas, kudengar Rangga menyebut namaku disela diskusi hangat mereka pagi ini. Para pria di kelasku memang aneh semua, mereka sangat suka ngerumpi seperti halnya yang sering dilakukan para gadis.

“Angga itu ganteng sih, tapi sayang,, cuccok.” Serunya setengah berbisik pada teman-teman yang lain. Aku melangkah pelan dengan amarah yang sesak di dadaku. “Kenapa Ga? Apa salahku?” aku menangis dalam hatiku. Emosiku menumpuk. Kulihat ia tak berkutik melihatku masuk tanpa mengucap salam kepada mereka.

Malam harinya aku sendiri di kamarku. Aku masih memikirkan tentang apa yang terjadi hari ini. Rangga kali ini tidak datang, aku sudah pesan agar ia tidak usah datang. Aku memang lemah, aku seperti gadis, terlalu gemulai, tapi ini aku adanya, tak dapat ku ubah, sudah dari sananya aku begini. Apakah gelar sahabat yang selama ini ada tak pernah memiliki arti? Apa aku kurang baik sebagai sahabatnya? Pertanyaan-pertanyaan itu mengunang di kepalaku. Aku benar-benar hancur. Aku terlalu mengandalkannya. Aku yang telah sangat nyaman dengannya tiba-tiba hancur tanpa berbuat salah. Sadarkah ia telah menyakiti hatiku? Aku beralis tebal, dain ia juga sama. Apakah ia tak mengerti rasanya amarah yang begitu mudah meledak dan menyesakkan dada? Untungnya aku menyukainya hingga tak kulakukan yang ingin kulakukan. Memukulnya. Ya, aku menyukainya. Lebih tepatnya, mencintainya.

-----

Hari-hariku kini kelabu. Tanpa Rangga aku sayu. Namun dengannya aku rapuh. Rapuh warasku. Aku menghabiskan hari-hariku dengan gejolak hati yang begitu mempermainkanku. Apa aku harus berbaikan dengannya? Tapi aku mencintainya. Kini aku sadar, kata sahabat yang selalu aku sebut seharusnya diganti idola. Kata setia kawan harusnya ditempati oleh cinta. Cinta terlarang. Setiap kali mengingatnya aku selalu menangis. Menangis mengingat jantungku yang berdetak lebih kencang, wajahku yang memanas dan mataku yang dengan cepat ingin terpejam membayangkan dapat tidur di pundaknya.

“Rangga, aku minta maaf. Aku tak sengaja mencintaimu. Aku harus melupakanmu. Tapi bagaimana? Kau selalu dekat. Berusaha bersahabat kembali. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa dekatmu. Aku harus melupakanmu. Tenggelam bersama mimpi burukku.” Rangkaian kata-kata aneh mulai muncul tiap kali keheningan menghampiri kelas yang memang harus selalu hening itu.

Kini aku melangkah gontai sendiri, berusaha menjauh semampuku, meski kadang lupa daratan dan menjerit sendiri. Aku Angga, seorang lelaki yang diakui teman-temanku manis yang menyukai mantan sahabatku sendiri yang bernama Rangga. Kadang kami terlibat adu mulut, perang dingin, kadang mencoba menempuh kehangatan secara perlahan, namun itu sering kali tak berkelanjutan. Selalu ada akar dalam pikiranku yang melarangku mendekatinya lagi. Berpura-pura membencinya hingga teman-teman sekelasku mengira aku iri padanya. Meskipun aku tak dapat terima, tapi ku paksakan agar iya. Meski begitu, kadang kala saat aku benar-benar diujung isakku, aku memikirkan cara agar dapat memberitahukan kepadanya siapa aku ini. Ada apa denganku selama ini? Kenapa aku begini?

Detik-detik merajut diri menghadirkan hari-hari yang mendirikan tanggal yang berbeda tiap minggu, lalu bulan. Kini telah terhitung bulan bahkan tahun aku memendam rasa aneh yang buatku kerap menggila ini. Aku tak tahu bagaimana caranya keluar dari masalah ini karena aku tak pernah berani bercerita kepada siapapun. Siapapun. Aku sampai terkena insomnia dan menghabiskan hampir setiap malamku hanya dengan berjalan mengelilingi satu kompleks besar tempat kos ku terletak. Kurang lebih aku berolahraga malam melelahkan kakiku dengan berjalan sejauh tiga kilometer lebih tiap malam. Itu hitungan kasarku. Biasanya aku mulai berjalan sekitar pukul 10 malam atau 12 malam. Dan aku hanya akan pulang ketika tubuhku tak mampu lagi. Hanya saat aku mulai merasa kantuk. Karena jika tidak seperti itu, aku akan tetap terjaga karena pikiranku yang melayang tanpa bisa ku kendalikan. Karena jika tidak, aku akan selalu memikirkan Rangga. Aku gila karenamu Rangga.

Hingga suatu hari aku mendapat sebuah ide. Ide ini bercerita tentang menghapus perasaanku yang salah ini dengan mencintai wanita. Dapatkah? Teringat aku akan sosok seorang gadis centil manja yang selalu berusaha menarik perhatianku. Bahkan dengan cara bodoh dan terang-terangan. Akupun mengakui bahwa aku juga terkena efeknya. Aku juga mencintainya. Meskipun aku menyukai pria, namun rasa suka dan cintaku pada wanita turut hadir dalam hidupku. Bahkan aku dapat dikatakan seorang pecinta dahulunya. Seorang pecinta yang tak dapat meraih hati yang diidamkan. Sungguh miris, nasib seorang pecundang sepertiku ini.

“Aku dapat berubah. Aku bukan gay.” Teriakku semangat dalam hatiku karena tak mungkin aku berani meneriakkan itu dengan suara yang dapat terdengar oleh orang lain. Setidaknya cara ini juga cukup ampuh sebagai terapi rekomendasi para psikolog dalam artikel yang kutemukan di internet. Hani akan menjadi obat itu. Obat yang akan menjadi pengubahku. Tapi aku tak bisa begitu saja menembaknya. Aku harus benar-benar yakin ia mencintaiku. Bukan Rangga. Sebab itu akan benar-benar membunuh cinta murniku pada perempuan.

Tiba satu malam penting dalam hidupku. Malam itu malam minggu. Aku sedang bermain berramai-ramai dengan teman-teman di kos ku. Kami bergantian memasuki lapangan tak berjaring. Saatnya aku istirahat. Aku teringat pada Hani, inilah dia perasaanku yang mulai menampakkan dirinya. Aku mulai berseluncur kedalam media social facebook. Kucari namanya dan kubuka dialog pesan kami.

“Hai cantik. Lagi apa? Kangen kamu.” Tuturku kaku lewat kotak chat di akun facebookku. Ia membalasku. Kuharap ia tak keberatan dengan kata-kataku. Benar saja, ia membalas pesanku dengan jawaban yang menyenangkan.

“Hai juga ganteng. Aku juga kangen kamu.” Tuturnya membuat malamku berbunga-bunga.

“Aku suka kamu. Tapi jangan bilang siapa-siapa yaah..” kaprahku benar-benar tak terampil berkata-kata. Yaah,, aku memang pengecut yang buruk. Pacaran saja takut ketahuan.

“Iya aku juga suka sama kamu.” Iapun tak kalah lugasnya denganku. Dan,, yap kami pacaran. Semudah itukah? Ya. Lalu apa yang terjadi? Kemudian aku membalas pesannya lagi,

“Hari senin aku ke kelasmu yaah.” Ujarku.

“Iyah aku tunggu yah..” sambutnya riang. Tertutuplah percakapan kami malam itu.

Esoknya perasaanku berubah menjadi kelabu, memikirkan kembali kehidupan yang begitu rumit bagiku dan usiaku. Aku masih sulit menerimanya. Akupun kembali mengadu pada facebook. Facebook memuat perasaanku yang kutulis diatasnya dengan baik hingga banyak orang yang dapat membacanya. Isi tulisanku itu menyinggung tema sahabat. Anehnya aku tak tahu masalahnya datang dari mana, yang pasti aku mendapat kabar buruk bahwa teman sekelas Hani yang dulu mereka juga merupakan teman sekelasku kini membenciku. Kenapa? batinku bingung tak terjelaskan.

“Terus kita ini kamu anggap apa?” kata-kata itulah yang menjadi awal perpecahan ini.

“Apa maksudnya mereka ini? Aku bilang kan sahabat, bukan teman. Menurutku tingkatan teman dan sahabat itu berbeda.” Aku menjadi aneh ketika seakan teman-teman yang ku sayangi, para gadis yang sering bersamaku dahulu mulai membenciku secara serentak. Hatiku bergejolak sedih. Masalah inipun semakin runyam dengan Hani yang kesal karena aku tak jadi menepati janjiku untuk datang ke kelasnya. Bagaimana aku dapat ke kelasnya, aku sendiri keheranan karena hampir seluruh gadis disana menghujamku sambil terisak. Itulah yang kubayangkan. Aneh bukan bayanganku? Keadaan saat itu terasa rumit sekali.

“Apakah mereka tahu bahwa aku berpacaran dengan Hani? Apa karena itu mereka marah?” pikiranku mulai ngawur, tapi itu sedikit masuk akal bagiku. Pasalnya, ketika mendengar rumor palsu tentang Rangga yang berpacaran dengan seorang gadis cantik yang masih satu sekolah dengan kami, mereka histeris dan terisak. Diantara mereka ada yang berpesan padaku agar aku tak jatuh cinta apalagi berpacaran seperti Rangga. “Huuhhft.. apa mungkin?” teriak hatiku panjang.

Masalah semakin runyam, begitu pula dengan hubunganku bersama Hani yang tergantung oleh kelemahanku.

“Aku memang pengecut. Hal seperti ini saja tak mampu ku lewati.” Maki diriku sendiri. Mungkin aku memang tak bisa bersama lagi dengan Hani. Kurasakan hati dan cintaku yang memudar. Aku memang bajingan. Cinta yang pasang surut tanpa sadar ku gunakan dan berakhir luka bagi seorang gadis. Menyadari hal ini, aku meminta maaf kepada Hani dengan tulus. Namun ia masih tak membiarkanku menghubunginya.

Persahabatan, Pertemanan, dan percintaanku hancur membawa serta prestasiku. Lalu siapakah yang dapat membantuku? Menjadi obatku? Menggenggam tanganku dan menjadi penguatku untuk bangkit?

Kini aku sudah naik tingkat ke semester 4 ketika teman-teman seangkatan kami baru memasuki semester ke 3 mereka di SMA ini. Yaah, kami sudah lebih tua sebelum waktunya. Entah sudah berapa bulan sejak badai kehancuran hubunganku dengan sahabat, teman dan kekasihku menerpa hidupku. Aku terlalu disibukkan oleh air mata, amarah, dan urusan rumah tangga di kosku. Hari-hariku hanya berisi tangis yang meledak-ledak, tawa hiperaktif yang menggila, berdiam diri, sekolah pulang-sekolah pulang. Libur-meliburkan diri. Tidur dan susah tidur. Hanya dua hal yang dapat menghapus ingatanku tentang dunia untuk sementara. Shalat dan nonton film.

Suatu hari aku ke kos teman gadisku untuk agenda nonton film dan makan bareng mereka. Maklum, aku berasal dari keluarga sederhana yang beranggotakan banyak anak sebagai tanggungan orang tuaku. Jadi aku tak bisa membeli laptop seperti yang selalu aku impikan. Untuk ngekos aja aku harus membuat temanku bisa masuk SMA dan kelas yang sama denganku, kelas aksel. Imbalannya, aku dibolehkan tinggal bersamanya dan ia yang membayarkanku. Begitu pula dengan agenda makan bersama kami. Ini adalah agenda hebat yang kami para penghuni kos itu cetuskan demi kebersamaan dalam menghadapi ‘krisis tanggal tua’ dan sebagainya.

Sampai disana aku tak dibolehkan langsung memasuki kamar mereka karena seorang dari dua sahabat itu sedang mandi. Akupun nurut dan duduk di emperan depan kamar. Di depanku adalah jalan masuk para penghuni kos lain dan pemilik kos. Aku dan gadis-gadis ini punya ibu kos yang sama. Hanya saja gedung kos kami berbeda, karena sejak beberapa minggu lalu ibu kos berencana memisahkan perempuan dengan laki-laki. Tapi karena kami sudah terbiasa bermain bersama dan selalu berada dibawah pengawasan ibu kos yang turut bergaul ramah dengan kami, ia memperbolehkan kami tetap sering bertemu. Disinilah aku mengenalnya. Seseorang yang akan menjadi obatku.

Berjalan di depanku dua orang gadis cantik yang nampak asing. Seorang diantaranya memakai jilbab dan yang satunya tidak. Rambutnya lurus terurai hingga kebawah bahunya. Posturnya tinggi, namun terlihat mungil. Giginya menarik, membuat senyumnya tergaris amat manis. Kulitnya hitam manis. Rasanya aku ingin berkenalan, namun mereka berjalan sangat cepat.

“Angga, sini masuk!” panggil Ririn. Dia temanku yang sering dikejar-kejar laki-laki. Cantik dengan postur pramugarinya. Perfect. Sahabatnya bernama Airi. Gadis hitam manis yang sering terlihat seperti orang Arab atau India. Itu karena dia memang menyukai jenis kulit mereka yang mirip dengan kulitnya. Akupun masuk dan berbasa-basi lalu mulai menyiapkan film untuk ditonton.

“Eh, tadi aku liat ada dua cewek yang jalan. Anak baru yah? Orang mana?” tanyaku pada dua gadis di depanku yang masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

“Oh iya. Mereka murid baru.” Jawab Airi yang masih sibuk dengan kosmetik kesukaannya.

“Oh..” sambutku sayu.

Beberapa hari kemudian aku kembali berkunjung ke kamar Airi dan Ririn.

“Assalaamu’alaikum..?” ucapku pelan setengah berteriak. Rasanya tenggorokanku tersekat sesuatu setiap kali aku mengucap salam. Mungkin karena aku selalu menahan suara lantangku.

“Wa’alaikum salam… ayo masuk Ngga.!” Jawab Airi.

“Sini Ngga.” Sambut Ririn.

“Wah..” betapa aku terkejut dan langsung bertingkah menjaga image ku ketika menyadari masih ada satu orang lain di kamar itu.

“Nonton apa?” tanyaku basa-basi dan ikut bergabung.

“Yang pasti itu film Ngga, gk usah banyak tanya. Nonton aja.” Ujar Airi dengan logat daerah yang khas.

“Iya nih, tuh kenalan dulu sama dia.” Timpal Ririn menunjuk sosok gadis yang kemarin aku kagumi. Aku tersenyum kepadanya dan ia membalas senyumku.

“Angga.” Ucapku menyodorkan tanganku kearahnya.

“Indah.” Tuturnya kembali tersenyum sangat manis menyambut tanganku.

“Dari mana?” tanyaku kaku.

“Dari Ka***” jawabnya masih tersenyum yang membuat jantungku berdetak kencang. Apalagi aku baru saja menyentuh tangannya.

“Ooh, masuk kemana? SMANSA?” tanyaku lagi.

“Iya.” Jawabnya menutup perkenalan kami. Aku memang tak terbiasa banyak bicara saat berkenalan dengan orang baru. Ditambah ia adalah orang yang membuat aku jatuh cinta pada pandangan pertama, lidah yang kaku ini akan semakin membeku.

-----

Malam Yang Pahit

Pertemuan tadi memakan banyak ruang dan waktu dalam memoriku. Aku jadi memikirkannya terus menerus. “Indah.” Sahut batinku. Hari-hari berikutnya aku mulai sering ke kos itu. Makan bersama mereka, nonton bareng. Tak butuh waktu lama, aku dan Indah menjadi amat dekat. Makan kami sepiring, kemana-mana sering berdua. Terutama malam hari, karena saat malamlah aku leluasa bertemu dengannya. Hingga suatu malam yang pahit, aku mengajaknya keluar. Malam itu malam minggu.

“Indah, habis makan keluar yuk!” Ajakku.

“Kemana?” tanyanya.

“Kemana aja, ayo.” Ujarku.

“Ayo, aku juga daritadi mau keluar. Bosan malam minggu di kos terus.” Katanya lagi.

“Soalnya aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Hal penting. Penting sekali.” Terpintas di otakku untuk mengutarakan perasaanku padanya.

“Hm.. Apa? Yaudah yuk kita cari makan cepetan. Aku penasaran nih.” Dia mulai tak sabar. Sepertinya dia mencoba menerka apa yang akan aku katakan.

“Aku mau kamu baca satu surat. Tapi kamu harus janji kalo ini rahasia kita berdua.” Tuturku meminta kepastian darinya.

“Aihh, jangan bikin Indah penasaran dong. Apaan sih isinya? Ayo dong. Sekarang aja.” Ternyata dia malah semakin tidak sabaran.

“Ntar. Ntar aja, klo kita udah makan. Udah yuk, aku udah laper banget nih.” Kataku mengalihkan pembicaraan dan menyeret tangannya berjalan keluar kos. Meskipun tak memberontak, namun bibirnya masih saja mcerewet menagih surat itu cepat diberikan padanya.

Waktu makan telah usai. Aku dan dia mengendap keluar dari kos, takut ketahuan teman yang lain. Kami sudah biasa makan bersama di kos meskipun nasinya di beli dari luar.

“Kita kemana?” tanyanya.

“Jalan di sekitar sini saja.” Ucapku.

“Ok, mana suratnya?” tagihnya.

“Sabar.” Ucapku memandangi wajahnya.

“Aku mau kasih tahu kamu klo aku sedang suka sama seseorang.” Ujarku.

“Siapa? Kak Hani?” jawabnya asal.

“Bukan. Bukan dia.” Sergahku.

“Terus siapa?” katanya tak sabaran.

“Aku suka sama,, sama,, sama,, sama,,…” ucapku pelan dan perlahan.

“Kakak suka sama aku yah?” ujarnya tak sabar menunggu kata-kataku.

“Bukan.” Aku menjawabnya setelah sedikt berpikir tentang apa yang harus aku lakukan. Ini lebih baik. Aku harus berbohong. Nampaknya ia kecewa dengan penuturanku, tapi ia berhasil menguasai dirinya.

“Iya, terus siapa?” balasnya.

“Yuk, cari tempat sepi.” Aku menarik tangannya dan membawanya ke suatu tempat sepi di pinggir jalan. Aku yakin tak akan ada yang mengganggu kami disini.

Aku kemudian mengeluarkan sepucuk surat dan kuberikan kepadanya.

“Ini suratnya yang harus kamu baca. Didalamnya ada nama orang yang sedang aku cinta. Kamu akan tahu setelah membaca surat itu.” Ucapku. Indahpun mengambil surat dariku itu. Kali ini ia lebih tenang. Ia membuka surat itu perlahan. Membacanya agak serius. Baru ditengah surat ia mengangkat kepalanya memandangku. Aku yang tengah memandang kosong ke depan dapat merasakannya dari sudut mataku.

“Kak?” tanyanya tak percaya.

“Baca dulu sampai akhir.” Pintaku. Masih menatap kosong ke depan. Iapun menurutinya.

“Yah, aku suka sama Rangga. Teman sekelasku yang diidolakan oleh teman-temanmu itu.” Aku mulai mengungkapkan semuanya sendiri setelah kurasa waktunya membaca sudah cukup.

“Sejak kapan?” tanyanya dengan dahi mengerut.

“Sejak kelas satu. Tapi aku selalu ingin melupakannya. Hanya saja aku tak tahu caranya.” Jelasku. Ia terdiam. Aku yakin ia terguncang.

“Aku sebenarnya mau memberikan surat ini kepadanya. Mungkin itu bisa membantu.” Kataku lagi. Ia masih terdiam.

“Jangan. Aku yakin kakak pasti bisa berubah.” Tuturnya memecah kesunyian malam yang remang itu.

“Tapi bagaimana?” aku mencoba mencari tahu perasaannya terhadapku setelah tahu aku suka pada manusia sejenisku.

“Pacaran. Kakak harus pacaran agar bisa melupakannya.” Nampaknya ia masih belum merubah perasaannya padaku.

“Iya, aku juga berharap seperti itu. Tapi dengan siapa?” tanyaku lagi.

“Kak Hani.” Usulnya.

“Tapi Hani masih marah sama kakak.” Tuturku.

“Minta maaf aja.” Usulnya lagi.

“Sudah, tapi tak ada jawaban pasti.”

“Siapa yah?” katanya sambil mengingat-ngingat.

“Kamu aja.” Jawabku dalam hati. Aku terlalu takut kalau ia akan menolak karena sepertinya ia butuh waktu untuk mengertiku meskipun di depanku ia berlagak mengerti.

“Tapi pokoknya kakak berusaha yaah. Aku akan bantu kakak nyariin obat buat kakak.” Katanya setelah lama mengingat-ngingat.

“OK.” Jawabku.

“Udah yuk, kita pulang ntar lama-lama kakak bisa makin sedih.” Katanya khawatir melihatku yang menerawang udara yang transparan.

“Jangan dulu.” Cegahku. “Aku masih mau ngomong sama kamu.” Ia kembali terdiam.

“Indah.. kamu janji yah, kamu gk akan berubah dan meninggalkan kakak. Bantu kakak. Bantuin kakak berubah.” Ucapku menatap lekat wajahnya. Ia memejamkan matanya sebagai isyarat ia yakin sepenuh hati dengan ucapannya.

“Iya kak, Indah gk akan tinggalin kakak. Pokoknya kita harus cepat nemuin obat buat kakak.”

“Makasih ya..” ucapku tulus menggenggam tangannya.

“Udah yuk, pulang.” Ajaknya.

“Ok, tapi surat ini mau diapakan?” tanyaku.

“Buang, atau dibakar aja.” Usulnya. Lalu aku mengeluarkan korek api yang telah kusediakan.

“Kamu mau gk bakarin ini buat kakak?” lalu aku memegang surat itu dan ia yang membakarnya. Kamipun pulang saling bergenggaman tangan.

-----

Obat Terindahku

Kini setahun telah berlalu.

“Indah, kakak saying sama kamu. Kakak cinta sama kamu. Kamu mau kan nungguin kakak?” sambil tersenyum aku mengirm pesan itu kepadanya.

“Iya kak, Indah akan nungguin kakak. :) ”

15 & 16 Desember 2015 adalah tanggal jadian kami tepat pukul 24.00 WIB dan 01.00 WITA. Long Distance Relationship. I Love You.

...

..... tapi,,

Semua itu sudah usai. Dan entah apa namanya, tapi kurasa takdir membawaku kembali ke sini. Ke tempat di mana aku dapat kembali bertemu Rangga. Ke tempat di mana aku sudah lama tak berkomunikasi kembali dengan Indah yang meminta untuk memutuskan hubungan kami. Entah untuk sementara atau selamanya. Semua itu tergantung apa yang kami lakukan ke depannya. Begitu pula dengan perasaanku yang dulu ada untuk Rangga. Entah aku akan bisa menyapanya atau justru langsung memeluknya ketika kami bertemu kembali nantinya. Tapi itu tergantung padaku. Apakah aku masih mau mengulang kisah cintaku padanya atau memilih untuk Menghapus Jejaknya. Rangga, dapatkah kamu katakan padaku apa yang harus aku lakukan?

Dan senyumannya kembali tergambar. Terlukis dengan baik. Dan entah kenapa, yang aku lihat selalu tatapan sendu. Tatapan yang seakan memanggilku untuk menyelamatkannya. Lucu. Lucu karena pada kenyataannya, dia tersenyum dengan sangat lebar dan nampak bebas dengan kehidupannya sekarang. Lucu karena dia mungkin sudah tidak mau mengingatku lagi. Tapi bodohnya, aku masih berharap. Suatu saat, aku bisa kembali duduk bersamanya. Atau diboncengnya sambil dibuat tertawa sepanjang jalan seperti yang dulu ia lakukan. Bodohnya aku berharap, kehadiranku nanti akan disambutnya dengan pelukan erat dan sedikit isak yang menandakan betapa rindunya ia padaku. Dan aku ingin berkata,

Ngga, aku sayang sama kamu. Itu kenapa aku datang kembali padamu. Meski mungkin itu berarti aku gagal menghadapi ujian Tuhan. Mungkin Tuhan ingin mengujiku dengan membuat aku kembali ke tampat ini dan dekat denganmu. Mungkin Dia ingin mengujiku, apakah aku akan memilihmu, atau menghapus jejakmu. Tapi satu yang pasti Ga, aku kesulitan menghapus jejakmu. Karena itu, aku tidak akan mencoba menghapusnya lagi. Aku malah akan mencoba melukisnya kembali. Dan aku ingin, kamu tersenyum kepadaku. Tersenyum melihatku. Aku ingin kamu bahagia karena aku sudah kembali. Karena aku akan kembali dengan sepenuhnya untukmu.

Untukmu, seseorang yang pernah menggodaku dengan bertanya.

Kamu ngefans kan sama aku?

Untukmu, seseorang yang pernah meminta tanganku untuk menerima tanganmu dan berkata.

Kita ini teman, kan?

Untukmu, yang pada akhirnya membuat aku menangis. Karena aku merindukanmu. Karena aku ingin mendapat kesempatan itu kembali. Aku ingin menjawab semua pertanyaanmu dengan jujur.

Kamu ngefans kan sama aku? Iya. Aku ngefans berat sama kamu. Bahkan bukan ngefans lagi, aku cinta sama kamu.

Kita ini teman, kan? Iya. Kita ini teman. Sekaligus sahabat. Sekaligus,, aku mau bilang,, aku mau jadi kekasihmu.. itu pun kalau kamu mengijinkan. Kalau kamu gk marah. Dan kalau kamu gk jijik. :’D

Dan terakhir.

Hei, sampai kapan kamu mau membacanya? Apa kamu gk mau ngasih aku jawabannya? Sampai kapan kamu mau mendengar pengakuan cintaku? Apa kamu tidak bosan? Apa kamu tidak lelah? Apa kamu tidak kasihan padaku? Aku sudah begitu lama menangis karena menyukaimu. Dan sudah begitu hina karena mencoba mengakui semua ini padamu. Sekarang apa yang harus aku lakukan jika kamu menolakku? Apa yang akan terjadi pada hidupku jika kamu mengabaikanku? Dan apa yang akan aku lakukan pada hidupku jika kamu menjauhiku dan memilih menghinaku? Jadi, katakanlah kata-kata yang indah untuk aku dengarkan. Setidaknya kibarkanlah sedikit senyuman. Jika kamu tidak menyukaiku seperti aku menyukaimu, atau mungkin masih belum bisa menerima perasaanmu sendiri. Katakanlah, kita bersahabat saja. Dan itu lebih baik bagiku dari kata teman. Karena aku masih ingin di dekatmu. Tapi jangan takut, aku tidak akan memerkosamu. Aku bukan laki-laki kuat seperti kamu. Jika aku mencoba menyentuhmu, pastilah kamu yang lebih dulu menghajarku. Jadi, katakan bahwa kamu akan tetap bersamaku. Dan aku akan tetap bersamamu meski bukan sebagai pacarmu. Hahah,, tapi kamu harus tetap tahu. Aku akan tetap mencintai kamu meski kamu hanya menganggapku sebagai sahabatmu. Jadi akan kutegaskan.

Kita berteman lagi dan bersahabat seperti dulu? Atau kamu mau menerimaku sebagai seseorang yang menyukaimu?

Pilih salah satunya. Jika kita berteman lagi, aku akan menunggumu sebagai temanku, sebagai sahabatku. Jika kamu mau menerimaku sebagai seseorang yang menyukaimu, aku akan mengejarmu. Aku akan melakukan hal-hal yang bisa aku lakukan untuk membuatmu jatuh cinta padaku. Kecuali memerkosamu. :D Karena tadi aku sudah menjelaskan alasannya. :D

Intinya, jangan abaikan aku lagi. Ini sebuah permohonan. Eh, wait, bodohnya aku, aku belum bertanya, apa kamu sudah punya kekasih? Jika iya, tinggalkan saja dia, dan datanglah padaku. Hahahah,, just kidding tapi penuh harap.

Tentang penulisnya, teman-teman bisa langsung inbox mimin yah. ;)

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8