Apakah Ini Cinta?

Injury In Your Heart : Apakah ini cinta?

“Gw suka sama Lu, entah apa alasannya dan apakah ini cinta namanya. Terserah Lu mau biarin Gw sendirian, mau benci sama Gw, atau apapun terserah Lu. Yang terpenting perasaan aneh ini bisa terungkapkan.”  Randy tercengang mendengar pengungkapan Krisan. Mulutnya sedikit terbuka dengan mata yang membulat penuh. Randy masih suka menonton. Tontonan kesukaannya adalah Drama Remaja. Kini di hadapannya ada dua orang remaja yang terpaku. Keduanya tak bergerak setelah kata-kata terakhir Krisan yang mengaku cinta kepada Boy. Mereka masih mematung di balik layar raksa itu. Di sana tertulis “To Be Continued…”

“Rumit banget yah yang namanya hidup itu.” Randy bergumam sendiri saat membenarkan posisi tidurnya. Jam dinding sudah menunjukkan jarum pendeknya ke arah angka 3 dan ia baru saja merebahkan kepala kerasnya itu di atas tumpukan kain. Randy tak terlalu nyaman dengan bantal, ia hanya menggunakan tangannya untuk alas kepalanya setelah beberapa lembar kain halus. Sunah nabi katanya.

***

                “Bagaimana kabarmu, Teman?” suara Alif terdengar parau di seberang sana.

                “Aku sedang tidak terlalu baik. Bagaimana denganmu? Seperti biasa?”

                “Ya, tentu saja seperti biasa. Apa yang membuatmu menangis larut malam begini?”

                “Aku merasa kehilangan.” Nada suara Randy merendah dan bergetar.

                “Kehilangan apa?” kedua sahabat ini kini menetskan air mata mereka.

                “Jangan menangis kawan. Aku mohon jangan menangis.” Alif mencoba menenangkan Randy dikala air matanya sendiri membanjiri pipinya. Ada perasaan yang sejak lama telah tertaut di antara mereka.

                “Aku merasa kehilangan kamu, Lif. Aku merasa kehilangan diriku sendiri.” Randy semakin histeris dengan mulut yang dibekapnya sendiri.

                “Ceritakan padaku. Aku siap untuk apapun yang kamu mau.”

                “Aku bingung Lif, kenapa aku bisa jatuh cinta kepada laki-laki? Jika ini hanya cobaan, maka aku katakan aku tak sanggup. Jika ini hanya ujian, tapi kenapa begitu sulit? Jika ini hanya nafsu, kenapa orang yang aku cintai adalah orang yang mencintai-NYA. Kenapa aku begitu mudah terjatuh ke hati yang telah IA miliki? Apa DIA ingin berkata bahwa aku tak punya apa-apa? Apa DIA ingin aku ikut mencintai-NYA karena orang yang aku cintai mencintai-NYA? Do’aku memang seperti itu, tapi bukan itu maksudku. Aku ingin mencintai seseorang karena-NYA, bukan mencintai-NYA karena seseorang. Manusia lain tidak akan mengerti isi hatiku.” rutukan yang menyedihkan keluar dari mulut berlumur dosa itu. Mulut yang sudah hampir 2 tahun lamanya tak pernah mendekati untuk apa seharusnya ia ada.

                “Aku mengerti Randy. Aku tahu bagaimana perasaan kamu. Jadi kumohon tenanglah. Ada aku di sini.” Kata-kata tak berguna itu masih saja terdengar dari bibir Alif. Sedangkan di seberang sana Randy berteriak seperti orang yang akan menggila malam itu juga.

                “Apa ini? Kenapa semuanya mengutukku? Kenapa kalian mengutukku? Jangan berkata apa-apa. Aku mohon diamlah! Anjing! Setan!”

                “Istighfar Ran! Istighfar!” tangis Alif malah lebih menjadi daripada Randy.

                “Kenapa? Bahkan jangkrikpun bisa berkata seperti itu kepadaku? Apa aku sudah gila? Aku mungkin sudah gila.” Alif tak bisa berkata apapun, hanya tangannya yang mengatupkan erat mulutnya. Ini tak seharusnya terjadi. Dua orang sahabat menangis bersama, untuk apa?

*** 6 Bulan sebelumnya ***

                “Kucoba bertanya pada manusia tak ada jawabnya..a.. aku bertanya pada langit tua, langit tak mendengar… uoo… ooo…oo…” ribuan penonton memenuhi lapangan tempat band Noah bernyanyi untuk malam ini. Salah satunya Randy. Randy adalah penggemar Noah. Apa yang paling mengesankan tentang Noah adalah syair-syair lagunya yang begitu dalam saat dimaknai. Lagu-lagu yang paling ia suka dari Noah adalah Semua tentang kita, Langit Tak Mendengar, Tak ada yang abadi, menunggumu, di belakangku, mimpi yang sempurna, dan hampir semuanya.

                Setelah berbasah-basahan pada konser semalam, Randy masih sanggup bangun subuh. Moodnya sedikit baik untuk melakukan aktifitas hari ini. Ada agenda penting jam 7 pagi ini. Mengikuti tabligh yang salah seorang pembicaranya adalah seorang syaikh. Randy melangkah dengan penuh kebahagiaan. Senyum tergores dengan sendirinya.

                “Jadi ini yah masjid UIN itu?” batinnya menyerukan sebuah kekaguman saat melihat rumah indah Tuhannya.

                “Silahkan mas.” Sambut seorang penerima tamu yang duduk di belakang meja. Seperti janjinya dalam poster, 100 pengunjung pertama akan mendapat doorprise yang biasanya adalah buku saku yang berisi tulisan tentang islam. Randy terlihat senang hari itu, setidaknya kini ia bisa melakukan sesuatu yang sejak dulu ia impikan.

                “Dalam pembacaan surah Al-Fatihah itu, ada banyak sekali kesalahan yang sering di ucapkan oleh imam masjid hingga masyarakat pada umumnya. Kesalahan yang selanjutnya adalah pada ayat ke lima. Iyyaaka na’budu wa iyyaa kanasta’iin namun sering kali orang keliru dengan membaca Iya ka na’budu wa iya kanasta’iin seharusnya pada kata Iya itu di tasydid. Karena ya berbunyi tasydid, maka artinya hanya, namun jika dibaca Iya tanpa tasydid maka arti kalimat itu nanti akan mengarah pada kami menyembah kepada matahari sedangkan arti sesungguhnya Hanya kepada-MU kami menyembah dan hanya kepada-MU kami memohon pertolongan. Jika kita salah membacanya, durhakalah kita.” Jelas seorang translator yang berdiri tepat di samping syaikh. Pengunjung yang terlihat khusuk bersama-sama menggelengkan dan menganggukkan kepala mereka. Hingga acara yang panjang itu diistirahatkan pada waktu shalat dzuhur, Randy masih merasa betah untuk duduk mendengarkan penuturan demi penuturan orang-orang berilmu tinggi di hadapannya.

                Usai shalat dzuhur, acara kembali dilanjutkan dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil yang akan dipimpin oleh para santri muda. Para santri muda tersebut adalah santri pilihan yang telah mengikrarkan sumpah untuk setia mendakwahkan Al-Qur’an hingga akhir hayat nanti. Tabligh hari itu memang bertemakan Al-Qur’an. Sejak saat itulah, Randy melemah.

                “Pak, mau nanya. Kelompok Sembilan dimana yah pak?” tanya Randy gugup.

                “Oh, di situ dek.” Bapak itu menunjuk ke arah sekelompok orang yang sejak tadi telah ia lewati beberapa kali.

                “Iya pak. Terima kasih pak.” Bahasanya sangat kaku. Maklum saja, Randy adalah seorang yang selalu mengurung diri karena malu akan kelainannya.

                Randy berjalan perlahan, berusaha mengusir rasa gugup yang menghinggapinya di tengah tebaran manusia di lorong masjid itu. Langkahnya terasa melambat. Hingga akhirnya dia sampai ke tempat yang ia tuju. Jantungnya berhenti berdetak.

                “Assalaamu’alaikum Akhi. Alhamdulillaah. Siapa namanya akhi?” Randy tak menjawab. Ia tak dapat merespon pertanyaan pemuda santri itu. Matanya seakan melihat gerak lambat bibir-bibir merah tipis dengan gigi yang tertata rapih memancarkan senyum terindah dengan wajah berkilaunya. “Seorang pria Randy. Dia seorang pria.” Teriak hatinya mencoba menyadarkan diri. “Wajahnya! Apa ini karena ia sering tahajud? Subhanallaah..” namun belahan lain di sana juga tidak berdiam diri.

                “Akhi? Nama akhi siapa?” sekali lagi pemuda itu bertanya dan Randy menjawab dengan sangat kaku. Bahkan suaranya tidak dapat keluar. Inilah kenapa Randy tak lagi berani bergabung dengan jamaah ta’lim seperti mereka.

Waktu berjalan menyudutkan Randy. Hal yang dapat Randy lakukan hanya menunduk dan mendengarkan. Ketika dilirik atau ditanyai ia hanya bisa menjawab dengan sedikit berteriak menghilangkan gemetar di tenggorokannya. “Nasib yang indah Tuhan.” Tangisnya dalam hati. Selama perkumpulan itu mereka berhasil berekenalan, Randy juga mendapatkan nomor ponsel santri tampan itu. Namanya, Randy tak pernah berani lagi mengucap nama yang sangat berharga itu. Setiap kali nama itu terucap, saat itu pula jantungnya meremas dirinya sendiri. Sakit namun bahagia. Tapi sangat sakit. Darahnya langsung berdesir ke ujung kepalanya hingga ia merasa akan pingsan. Itulah apa yang ia rasakan saat mengingat nama santri muda itu.

Waktu berjalan, malam berganti hingga tanggal berubah. Namun Randy masih terperangkap oleh cinta yang menyesatkannya. Hatinya diganggu oleh sebuah pertanyaan. “Kapan aku akan bertemu dengannya?”

Teeet.. Teet.. suara getar ponsel Randy seakan menariknya dengan sangat kuat. Berharap itu adalah pesan dari santri yang ia ‘cintai’ itu. Cinta? Apakah itu cinta? Entahlah, yang pasti pesan itu telah terbaca. Kini takdirlah yang akan mengatakan jawabannya. Randy kembali terduduk setelah mendapat pesan undangan dari santri itu. Undangan itu ada untuk mengajak mereka kembali hadir pada tabligh berikutnya di sebuah masjid terkenal di kota itu. Dengan cepat Randy menjawab. Ia menulis sebuah surat cinta. Sebuah pernyataan cinta yang baru pertama kali pernah ia lakukan pada pria. Aku hanya tahu ujungnya.

“Akhi, aku takut. Aku takut Allah murka. Aku bingung. Apakah aku kesana masih untuk Allah atau hanya untuk melihatmu? Aku mohon katakan sesuatu agar aku bisa tenang setelah ini. Aku hanya ingin mendengar kata-kata terakhir darimu. Entah itu artinya aku sudah tidak bisa menghubungimu lagi atau apapun itu. Aku terima. Akhi, aku mohon maafkan aku yang telah salah karena menyukaimu.” Itulah apa yang bisa ia katakan. Berharap sesuatu akan menjadi lebih baik dengan perpisahan ataupun pertemanan. Yang pasti ada rasa tidak rela di hatinya. Ada rasa tak ingin kehilangan di balik air matanya yang tumpah ruah siang itu. Randy menunggu. Menunggu sebuah jawaban. Tiba-tiba. Teet…

“Datanglah! Kuatkan hati antum demi membela agama Allah. Saya tunggu antum di sini.” Tuhan! Bagai di setrum berjuta volt listrik, Randy tak dapat berdiri tegak. Kakinya bergetar dan ia menjatuhkan dirinya ke tempat tidurnya. Dengan kesadarannya yang masih utuh, Randy mencoba menerawang. “Mengapa Allah menyediakan pertemuan ini?”

2 jam sudah Randy mencari alamat masjid itu. Tepat beberapa menit sebelum waktu berbuka puasa, Randy sampai ke tempat yang di jadwalkan. Namun tak ada sosok itu di sana. Hanya kepasrahan yang kini hadir. Rasa senang dan bahagianya yang bercampur bimbang beberapa saat lalu, kini berubah menjadi rasa ingin mati. Terlintas di benaknya untuk bunuh diri dalam perjalanan pulang.

“Mau mati lo?” teriak seorang pria yang tengah melaju kencang dengan motornya saat Randy melintasi jalan itu tanpa menghiraukan apapun yang ada di sana. Kata-kata itu mengingatkannya pada masa-masa SMAnya yang selalu dikucilkan dan dibuli agar segera mati. Remuk sudah segalanya.

***

“Kamu sekarang sudah tidak kuliah lagi yah?” aku Alif, sahabat Randy yang paling mengerti keadaannya di antara manusia yang hidup.

“Iya.” Jawabannya lebih pasrah kali ini. Entah ia sedang dalam keadaan setengah hidup atau hampir mati.

“Randy, ketahuilah. Aku sangat ingin berkata jangan menyerah kepadamu. Namun aku mengerti, aku sendiri sadar bahwa bibirku tak mampu mengucapkannya. Aku juga ingin berkata tetaplah hidup kepadamu. Yang terkecil jangan sampai hal ini menghapus kewarasanmu. Aku ada di sini meski kau tak bisa menggenggam tanganku seperti apa yang kamu cari dari semua orang saat ini.”

“Aku harus menjawab apa? Aku sendiri tidak tahu apa yang harus ku katakan sekarang Alif. Dunia ini kelam dan gelap. Aku ingin tidur. Aku mengantuk. Semoga ini mimpi. Semoga aku tahu siapa aku yang sebenarnya. Semoga aku bisa mengerti arti ‘Pembolak-balik hati’ itu apa? Semoga aku mengerti jalan hidupku ini apa? Dan akan seperti apa? Aku meninggalkan surat untukmu sahabat. Entah aku akan terbangun lagi atau tidak. Carikan aku jawaban pada surat itu. Aku menyayangimu Alif. Sangat menyayangimu. Lebih dari apapun.” Itulah kata-kata terakhirnya sebelum semua ini usai. Aku berjanji akan menemukan jawaban itu untuknya. Semoga ia masih bisa tersenyum setelah ini.

Word of ‘Pun’

By : Me to You ( a song : heart : a poetry)

Bila cahaya dapat menutup mata ini

Maka biarkan aku terbakar dengan cahayanya

Bila kegelapan dapat membuka mata ini

Maka biarkan aku tenggelam ke dalamnya

                Dunia yang dapat terlihat

Nampak begitu jelas

Pun,, kebenarannya semu

Dunia yang dapat terlihat

Kebenarannya pun semu.

Aku melangkah.. melangkah.. dan melangkah lagi..

Aku meraba.. dan meraba lagi..

Kulitku basah tersentuh air hujan

Gerimis.. kini berganti deras.. deras.. deras air mata..

Di bawah air hujan..

Teringat.. masa kecil dulu.. aku tertawa.. terbahak.. di bawah.. payung hujan..


                                                                                                                Aku berharap aku tak dapat merasakannya..

                                                                                                Dunia & hidup..

                                                                                                                Big sorry for you all..

Jika kamu mengerti, maka kamu adalah aku :’(


                “Aku tahu jawabannya Ran, aku mengerti semua ini.” Tetes air mataku sekarang tak bisa terbendung lagi. Sampai jumpa dunia. :’(

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8