Love Season Part 10

Love Season Episode 10

Ariel syok menatap papan di pos satpam. Ia terkejut mendapat nama Arman di sana. Saking terkejutnya, matanya nampak membulat penuh. Itu membuat Revan sangat khawatir.

“Namanya, sama.” Ucap Ariel sedikit mundur dengan wajah syoknya.

“Riel,,” sahut Revan menatapnya sangat cemas. Tangan Revan sampai tak tahan harus menyentuh pipi milik pria yang matanya terbulat akibat terkejut itu.

Ariel membalas menatapnya, namun dengan ekspresi yang masih sama, penuh dengan ekspresi syoknya. Tak tahan melihatnya seperti itu, Revan menariknya naik ke motornya. Tak mungkin ia memeluk pria itu di tempat umum seperti itu pikirnya.

Waktu pun berjalan. Revan dan Ariel sudah kembali duduk di atas motor besar miliknya. Sebelah tangan Revan menggenggam sebelah tangan Ariel, sementara tangannya yang satunya dengan fokus menarik gas motornya dan melaju menuju tempat yang menurutnya dapat membuat mereka tenang. Tak begitu jauh, mereka menemukan sebuah pusat perbelanjaan dan Revan menarik Ariel turun dan mengajaknya ke sebuah food court di sana. Ariel yang masih syok akan pikirannya sendiri, mengikuti Revan seperti robot yang sedang melamun. Kakinya melangkah sendiri, otaknya berputar dan berhenti sendiri.

“Riel, denger!” ucap Revan memulai setelah memesan beberapa menu di restoran itu. Sementara Ariel, matanya masih nampak menjelajahi dunia pikirnya sendiri. Dia memang mencurigai satpam itu, tapi ketika ternyata benar, ia sangat terkejut dan mencoba menolak pikirannya kembali.

“Eh bego!” bentak Revan lembut sambil menjitak dahi mulus milik Ariel. Seharusnya itu mampu menyadarkannya kembali. Ia menatap Revan mencaritahu apa yang pria itu pikirkan dengan menjitak dahinya dan ia mendapatkan pria itu sedang tersenyum sebal mencemoohnya.

“Apa yang sedang diculik itu pacarmu?” ucap Revan dengan nada yang dibuat kesal. Ariel tersenyum kecut, mereka tahu itu hanya candaan.

“Gitu dong. Capek tahu liatin muka syok kamu terus. Kamu pikir dada ini gk celos ngelihatin kekasihnya mirip ikan koki kepanasan di atas penggorengan?” sebuah kejutan datang dari Revan. Dia mencicil omelannya dan godaannya sambil menyentuh dan menggosok memutar-mutar dadanya seakan orang sedang sakit sesak nafas. Itu membuat Ariel harus tersenyum melepaskan semua pikirannya sejenak dan menyempatkan dirinya untuk berpikir betapa manisnya pria di hadapannya ini. Betapa ia ingin pria itu mengecup dirinya sebagai tebusan dan permintaan maafnya.

Melihat wajah itu sudah kembali tersenyum dan sumringah, Revan kembali bersuara. Tetap dengan seluruh senyuman sempurna dan bahagia miliknya.

“Kamu jangan bego. Tadi kamu gk baca semuanya. Kamu langsung syok pas baca nama satpam itu Arman juga. Tapi, satpam itu nama lengkapnya bukan Arman Subekti, namanya Arman Ilham. Beda banget sama yang kamu pikirin.” Ucapnya sambil mengetuk-ngetuk dahi milik Ariel dengan jari telunjuknya.

“Masa sih?” ucap Ariel tak menyangka.

“Nih! Tadi aku sempat ngambil fotonya waktu kamu syok. Aku bingung harus ngapain liat kamu syok kayak gitu. Pengen nyium tapi gk bisa karena lagi di jalan umum.” Celetuk Revan sekali lagi memunculkan sesuatu yang berbeda dari dirinya yang sebelumnya. Berbeda dari dirinya yang biasanya. Namun itu sudah hal biasa karena dia memang seseorang yang tidak diam dalam satu ekspresi yang sama untuk waktu yang lama. Selalu berubah-ubah meskipun sangat didominasi oleh tempramental kasar dan pemarah miliknya.

Ariel menatap lekat-lekat foto di layar handphone di tangannya. Seorang pegawai restoran sudah sejak tadi menyodorkan minuman ke atas meja mereka. Nama pria itu “Arman” dan tertulis dalam huruf yang ukurannya besar. Sementara “Ilham” disematkan di bawahnya dengan ukuran huruf yang lebih kecil. Karena itu ia tak sempat menyadarinya. Terlalu fokus dan terlalu ceroboh. Terlalu cepat mengambil keputusan. Revan menatapnya seperti seorang pria sedang menatap gadisnya yang sedang makan es krim sambil tersipu malu. Ariel yang menyadarinya terbawa suasana dan merasa malu pada kekasihnya itu. Sudah beberapa kali Revan mengingatkan padanya agar bertindak tenang tanpa terlalu curiga. Namun ia tetap bersikeras dan akhirnya syok sendiri melihat hal-hal seperti itu.

“Buat jaga-jaga, aku juga ngambil foto satpam yang satunya.” Ucapnya menggeser layar handphonenya dan menunjukkan gambar seorang satpam yang mereka kenali datang bersama satpam bernama Arman itu. Namanya Bari Ilham. Bahkan nama belakang mereka sama. Apa mereka bersaudara? Bodoh sekali mempertanyakan itu. Jelas-jelas Pak Rasyid tak memiliki nama itu pada namanya. Dan orang Indonesia juga jarang menggunakan nama marga sebagai nama belakang, hanya ras tertentu saja. Lagipula di rumahnya tadi jelas sekali tidak ada gambaran akan sosok Bari.

Revan yang mencoba mengabaikan reaksi Ariel sebelumnya berhasil membuat Ariel merasa tenang, rileks dan nyaman. Ia ingin Ariel tetap merasakan perhatian dan kegelian bersamanya meski harus tetap fokus pada apa yang sedang ingin mereka pecahkan saat ini. Dan nampaknya itu berhasil untuk saat ini.

“Lagi pula, mas Arman kan punya rumahnya sendiri, masa dia pindah lagi. Pindahnya di Rt yang sama lagi sama orangtuanya. Buat apa coba.” Sahutnya menambahkan. Ariel menatap wajahnya yang sedang mencoba menggambarkan keparcayaan dirinya atas argumennya.

“Mukanya gk usah lebay gitu. Aku tahu aku ceroboh, tapi aku gk segitu begonya sampai gk ngerti tentang itu.” Ucap Ariel menunjuk sebal hidung dan bibir Revan yang agak manyun saat ini.

“Terus kalau emang ngerti, kenapa tadi sampe syok gitu.” Ucap Revan menantangnya. Seperti biasanya, mereka kembali saling menggoda. Senang sekali rasanya menyadari hubungan cinta diantara mereka tak mengubah kebiasaan di antara mereka sebagai sepasang sahabat.

“Ya, tadi kan aku lagi syok aja, makanya gak sempat mikirin itu.” Ucap Ariel mencari alasan. Kali ini bibirnya lah yang sedikit  manyun-manyun.

Dengan cepat Revan menunjukkan wajah remehnya membuat Ariel semakin kesal dan sebal.

“Udah ah, tuh mbak nya dateng!” ucap Ariel ‘melarikan diri’ melihat seorang pramusaji yang datang membawakan makanan ke arah mereka.

Wanita cantik berwajah penuh senyuman itu menunduk sedikit untuk menempatkan piring-piring makanan itu. Ariel dan Revan yang melihatnya mencoba membantu dengan menyambut piring-piring tersebut dengan cepat. Perlahan-lahan mereka mulai memenuhi meja itu dengan berbagai jenis makanan seperti hari kemarin di pemancingan.

“Van?” panggil Ariel yang mendapat balasan wajah polos dari Revan.

“Jangan sok polos, ini kenapa makanannya banyak banget???” teriak Ariel dengan suara yang hanya terdengar oleh orang-orang satu meter di sekitarnya. Wajahnya nampak merah menatapi satu-satu makanan di atas mejanya itu. Bagaimana cara mereka menghabisi semua makanan itu? Pikirnya yang disambut Revan dengan kekehannya.

Tak sampai satu jam berlalu, Revan dan Ariel sudah bersiap di depan gerbang milik sebuah rumah. Gerbang itu tak tinggi, hanya sekitar dada Revan dan Ariel. Mereka dengan waspada menyusuri dan mengamati pemandangan rumah itu. Menanti sedikit pergerakan dari dalam rumah itu. Sesekali mereka mencoba menekan bel dan berharap akan ada seseorang yang menyahut meskipun mereka tahu harapan itu mustahil. Ya, bagaimana mungkin pria itu akan menunjukkan batang hidungnya pada mereka yang mungkin saja melaporkannya sebagai penculik dan peneror.

Rumah itu adalah rumah milik Arman. Arman Subekti. Si pria kurang ajar yang telah menculik Geri. Itulah kemungkinan terbesarnya sekarang. Rumah itu tepat berada di depan rumah milik Geri. Kenyataan itu membuat dada Ariel sesak membayangkan betapa lemahnya mereka semalam. Mungkin saja Geri sedang berusaha memberontak di rumah itu saat mereka sedang panik mencarinya. Tapi siapa yang menyangka kalau dia mungkin disembunyikan di sana.

Ariel menggeleng mengingat betapa bodohnya mereka dan para polisi semalam. Tak ada yang mempertanyakan kemana dan bagaimana Geri dibawa kabur. Samping rumah Geri memang sudah kebun dan sawah, tapi tak ada yang menyusurinya hingga tim bantuan polisi datang. Tak ada yang mengabarkan warga dengan baik sebagai keadaan darurat karena kedua satpamnya nampak seperti dua satpam muda egois yang justru kelihatan seperti tersangka bagi Ariel. Semuanya begitu di luar kemampuan mereka dan Ariel sangat kesal membayangkan betapa pria itu tertawa terbahak-bahak mempermainkan mereka semua. Apa memang begini keadaan yang seharusnya bila seseorang diculik? Entahlah, Ariel tak pernah punya pengalaman dengan kasus penculikan sebelumnya. Hidupnya masih nyaman dengan hiruk pikuk percintaan dan persahabatan di sekolah hingga hari kemarin.

Revan yang menyadari Ariel yang mulai berpikir berlebihan itu mengambil langkah tegas padanya, dan dalam seper sekian detik, dapat terdengar suara “tak” dari jentikan jari pria itu di dahi mulus yang mulai memerah terkena jentikan itu.

“Hayoo, mikirin apa? Udah dibilangin jangan terlalu berlebihan.” Ucap Revan masih mendapati wajah sebal dari Ariel.

“Tapi kan emang benar. Semalam kita ceroboh banget. Terlalu panik dan terlalu lemah untuk mengatasi hal ini.” ucap Ariel semakin frustrasi.

“Kamu ini!” sahut Revan mencubit hidungnya. Tak ada gunanya menahan kemesraan mereka. Lingkungan itu sedang sepi. Bahkan rumah milik Geri sedang kosong. Mungkin orangtuanya sedang mengurusi banyak hal di kantor polisi.

“Memangnya apa yang kamu harapkan dari beberapa murid SMA yang bahkan belum pernah mengalami kasus pencurian atau perampokan di rumahnya? Wajar saja kita syok dan lemah. Wajar saja kita tidak cepat tanggap dan bingung harus mengambil langkah apa. Kita ini hanya murid SMA. Dan aku gk mau kamu memaksakan dirimu untuk berpikir sebaliknya.” Lanjut Revan seakan tahu apa yang akan menjadi bantahan Ariel yang mungkin berkata “Tapi, kita ini kan ada di lokasi kejadian dan yang diculik itu teman kita.”

Dan benar saja. Tampak Ariel memilih diam karena telah diberi ketegasan lebih dulu oleh Revan. Lebih dari itu, dia juga tahu apa yang Revan pikirkan. Ia tahu dengan pasti bahwa Revan tengah mengkhawatirkannya dengan segala macam bentuk pikirannya saat ini. Karena itulah ia memilih akan menuruti kalimat-kalimat itu. Karena bila ia jadi Revan, ia juga akan mengatakan hal yang sama.

“Teet..” sekali lagi bunyi bel itu disambut keheningan yang menyejahterakan. Tak ada jawaban dari kekosongan di dalam sana. Dan itu menjadi petunjuk bagi Ariel dan Revan untuk mencoba cara lain mencari keberadaan pria bertopeng itu.

Tapi tunggu, apakah mereka tidak berpikir untuk meminta foto Arman pada pak Rosyid. Sudah, tapi tak ada. Fotokopi KTP-nya juga sudah tidak ada. Jelas karena mereka tak ingin pak Rosyid yang sudah lemah itu kembali ke kamarnya dan mencari sepucuk kertas kecil itu hingga sore menjelang. Lalu kenapa mereka tak langsung menanyakannya pada si pria itu dimana mereka dapat bertemu dengannya? Bukankah memang pria itu yang mengundang mereka untuk menghampirinya. Dan mereka pun memikirkannya.

“Kenapa kita gk nanya langsung aja?” katanya membuat lawannya ikut menyengir.

“Ah Bego! Kamu bego! Aku juga bego!” sahutnya dengan penuh cengiran. Bukan sebuah kelegaan, tapi sedikit keluwesan terasa dalam hatinya. Ariel.

Sementara mereka fokus saat mengetikkan beberapa kata dalam handphone itu, tiba-tiba sebuah sepatu berisi kaki wanita menghampir sudut penglihatan mereka di bawah sana.

“Kalian ngapain di sini?” ucap wanita itu dengan tangan yang sudah siap dalam posisi sedekap. Seperti seorang guru yang sedang menangkap basah muridnya yang sedang bolos sekolah. Ya, karena memang itulah yang terjadi.

Revan dan Ariel yang mendengar suara itu, perlahan menaikkan pandangan mereka dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Sepatu pentofel wanita berhak sekitar tiga sentimeter, kaus kaki atau lebih tepatnya stoking berwarna kulit cerah yang menyatu dengan kulit kakinya, rok pendek yang tidak begitu ketat namun berhasil mempertontonkan kemolekan tubuh wanita tersebut dan baju yang cukup ketat juga sampai membuat wajah dua pria remaja itu tergores sedikit rona merah karena malu dan kacamata serta rambut tergerai ke depan yang membuatnya terlihat seperti artis atau model yang sedang pamer keseksian dan kesensualan dirinya. Itu jelas-jelas membuat pikiran kedua remaja di depannya sangat berkecamuk.

Astaga kenapa dadanya dibusungkan? Astaga kenapa dia dekat sekali? Astaga ada apa dengan rok nya? Astaga aku tidak boleh melihatnya? Itulah yang dipikirkan oleh Ariel dan Revan secara bergantian berturut-turut. Namun ibu di depan sana masih belum tenang karena belum mendapat jawabannya.

“Ibu tanya, apa yang kalian lakukan di sini?”

“Maaf Bu, kami hanya sedang.. Aaa...” Dan sekali lagi, intimidasi wanita cantik bersosok guru killer ini mampu mengalahkan image cantik miliknya sendiri. Tapi ah, kalau memang disandingkan antara kecantikannya dengan kesadisannya, mungkin juga cukup bagus pikirnya. Karena itu mungkin bisa membuatnya dipanggil si killer seksi. “Hahahah..” tawanya keceplosan membuat kedua pemuda yang gugup di depannya terkejut kebingungan.

“Heheheh... maaf yah, ibu keceplosan.” Katanya dengan cengirannya. Ariel dan Revan? Masih terdiam dengan tanda tanyanya.

Kini Ariel, Revan dan Bu Siska duduk bertiga di sebuah restoran. Di atas meja hanya ada minuman dan sedikit kudapan untuk bu Siska karena Ariel dan Revan sudah makan banyak di restoran sebelumnya. Dengan sedikit tersenyum, bu Siska melanjutkan. “Siapa yang sangka kalian akan terkejut dan ketakutan seperti itu. Mirip Ira dan Renata kemarin.” Ucapnya mengingat kejadian kemarin. Ya, gadis yang bertemu dengan Ariel dan Revan di depan rumah Geri dan Arman tadi adalah Siska. Wali kelas cantik mereka yang sangat suka berakting.

Setelah bu Siska menanyakan pada mereka apakah ada orang di dalam rumah itu, mereka pun langsung di ajak ke restoran lagi oleh bu Siska. Tujuannya adalah untuk membicarakan sesuatu katanya. Dan berakhirlah mereka di situ. Dengan celana abu dan kaos tanpa tas dan handphone setelah dititipkan dengan paksa oleh bu Siska ke salah satu tempat penitipan barang.

“Jadi Bu, apa yang ingin ibu bicarakan? Apakah ibu ingin memberi hukuman pada kami karena sudah bolos? Kalau iya, hukum saya saja Bu. Saya yang bawa Ariel ke sini.” Ucap Revan penuh antisipasi. Bu Siska mendelik, matanya menyipit menatap ekspresi Revan yang khawatir berlebihan dan wajah Ariel yang memandangnya terlalu berlebihan dan mirip akan ekspresi takut dicurigai. Tapi dia terlambat.

“Ada apa dengan kalian berdua? Apa kalian...” ucap bu Siska dengan nada yang ditanggalkan seakan mengejek kedua orang di depannya itu.

“A,,” ucap Ariel menganga saat tangan bu Siska berlalu memintanya berhenti. Si ratu drama ini kemudian mengambil sikap duduk tegak dan wajah serius yang dipoles sedikit cemas. Awalnya dia memulai dengan sebuah permintaan maaf. Dan setelah itu...

“Pertama ibu mau minta maaf karena terlalu banyak bercanda. Masalah kalian bolos atau tidak itu tanggung jawab bersama, ibu sebagai wali kelas kalian memang harus memperingatkan kalian, tapi kalian sebagai pengambil keputusan atas diri kalian sendiri punya hak dan tanggung jawab yang lebih besar atas itu.” Ucapnya berhasil membuat Ariel dan Revan melongo seperti orang bego. Sambil tersenyum tipis ia melanjutkan.

“Ibu tahu kalian sedang melakukan sesuatu demi teman sekelas kalian, dan ibu tidak melarang itu. Ibu juga dapat menebak hubungan di antara kalian dan ibu tidak ingin mengganggu itu. Tapi sekali lagi, seperti yang ibu katakan, kalian punya hak dan tanggung jawab yang lebih besar atas hidup dan keputusan kalian.” Ucapnya sangat dewasa sekaligus pengertian bagi kedua remaja tersebut.

“Tapi ada satu hal yang ingin ibu campuri. Ini tentang Arman.” Ucapnya membuat dua orang remaja di depannya langsung waspada. Tak berlebihan mengingat apa yang dikatakan pria itu. Mereka harus menanganinya berdua saja, karena jika tidak, nyawa Geri taruhannya. Siska yang mampu membaca ekspresi wajah dan tingkah mereka yang awas kiri kanan itu pun dengan cepat menjelaskan.

“Ibu benar-benar khawatir dengan kalian. Kalian bahkan sudah sampai ke depan rumahnya Arman untuk mengatasi kasus ini. Jujur saja, ibu mendapat firasat buruk ketika melihat Arman di sekolah.”

“Tunggu, Bu! Ada banyak pertanyaan dalam pikiran kami tentang semua yang ibu katakan. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang lebih penting. Pria itu mengatakan agar kami tidak meminta bantuan siapapun.” Ucap Ariel dengan cepat. Revan seperti biasa, mendengarkan Ariel mewakili apa yang mereka pikirkan bersama.

“Tenang! Entah bagaimana caranya, mungkin Arman sudah menyadap kalian. Bisa lewat handphone atau barang-barang di tas kalian. Tapi semua itu sudah dititipkan dan saya yakin kalian sudah steril. Lagipula, jika itu saya, Arman tidak akan marah. Dia justru akan senang.” Ucapnya tiba-tiba terlihat ‘mendung’ mendongak menatap langit-langit. Seakan membayangkan kejadian pahit di masa lalu.

“Jadi apa kita bisa lanjut? Kalau kalian masih punya pertanyaan atau justru curiga pada ibu. Tidak apa-apa, tanyakan saja.”

Ariel dan Revan sempat terhenyak. Bungkam sempat menghampiri, tapi tak banyak waktu. Revan menegakkan duduknya dan menyeruput air dingin di hadapannya.

“Baik Bu. Kalau begitu saya mulai!” ucap Revan tak mau diam lagi setelah melepas sedotan dari bibirnya. Bu Siska nampak siap menjawab semua pertanyaan yang mungkin dilayangkan oleh muridnya tersebut dan Ariel sudah standby dengan pikiran dan analisisnya. Dalam hati ia berharap kali ini ia tak termakan kecurigaan dan kecerobohannya lagi.

Dan pembicaraan itu pun terus berlanjut, dimulai dari kenyataan bahwa bu Siska sudah mengenal Arman sejak SMP dan SMA. Mereka pernah punya hubungan dan pengalaman yang buruk. Namun bu Siska tetap memandangnya sebagai seorang teman baik yang ingin ia selamatkan. Melihat dari tingkah Arman yang berbeda, seperti ada sesuatu yang ingin ia –Arman– lakukan, bu Siska mencoba mengantisipasi dengan mencari tahu apa saja yang akan dilakukan oleh murid-muridnya. Karena itulah kemarin ia menanyakan rencana kejutan itu kepada Ira dan Renata. Dalam hati, Ariel mengambil poin ini sebagai poin yang dapat menjadi bukti untuk curiga pada bu Siska. Karena boleh jadi dia bersekongkol dengan pria bernama Arman itu. Ya, karena dia adalah orang luar yang tahu tentang rencana mereka. Tapi Hey, tunggu dulu. Tak boleh tenggelam dalam kecurigaan.

Karena itu pula, setelah mendengar berita tentang penculikan Geri, bu Siska langsung menetapkan terduganya adalah Arman dan ketika ia ke rumah Arman ia menemukan Ariel dan Revan dan kemudian mengajaknya ke sini.

“Tapi Bu, jika ibu bilang bahwa ibu melihat orang itu di sekolah, berarti...”

“Ya.” Siska dengan cepat menjawab pertanyaan muridnya itu. Revan yang langsung mendapat jawabannya dengan cepat langsung melongo tak habis pikir. “Dia sudah menjadi guru kalian. Dan hebatnya, kalian kemarin tidak datang sekolah, jadi kalian tidak mengenali wajahnya.” Lanjut guru cantik itu masih sempat bercanda dengan sarkasme tingkat tingginya.

Dua murid yang di hadapannya itu pun tak menghiraukannya. Mereka sibuk memikirkan kenapa sampai sebegitunya orang itu. Apa dia punya dendam pada mereka atau apa. Sampai bisa menjadi guru? Apa-apaan itu maksudnya.

“Andai saja kemarin kita ke sekolah. Kita pasti akan mengenali wajah orang brengsek itu.” Ucap Revan mengejutkan Ariel dengan pikirannya. Bukan berarti Ariel tak memikirkan hal yang sama, tapi Ariel tahu bahwa pikiran itu akhirnya akan membuat Revan merasa bersalah. Dan Ariel tak akan tahan bila hal itu terjadi.

“Jangan salahin diri kamu sendiri. Ini semua terjadi karena ulah satu orang dan tidak ada satupun di antara kita yang boleh merasa bersalah atas itu.” Ariel berusaha keras untuk mengucapkannya tanpa menyentuh pipi Revan. Tapi dengan memegang tangannya seperti ini saja sudah sangat ampuh membuat Siska tak tahan dan memilih mengalihkan pandangannya dari adegan dramatis itu.

Dan akhirnya Revan tersenyum. Ia kembali menguatkan diri. Tak boleh ada kelemahan saat ini.

“Bu, kenapa ibu seperti itu? Apa adegan barusan membuat ibu merasa...” Ariel tak bisa melanjutkan kata-katanya. Takut Revan akan jengkel mendengarnya.

“Ah, gk apa-apa kok. Ibu cuma malu aja liatnya.” Ucapnya pura-pura tersipu.

“Ohiya,,” lanjut bu Siska sambil membuka tas nya. Ia mengeluarkan selembar foto seorang pria dan memberikannya pada Ariel dan Revan yang langsung menatapnya penuh tanda tanya meminta kepastian. Dan Siska langsung menjawabnya dengan anggukan cepat.

“Ya, itu fotonya Arman. Ibu sempatkan ambil dari kantor sekolah dan ini beberapa foto lain yang ibu kumpulkan untuk jaga-jaga.” Ucapnya menyodorkan handphonenya yang menampilkan foto-foto pria dengan wajah yang sama di galerinya. Sekali lagi Ariel dan Revan menatapnya dengan takjub sejak ia mengatakan bahwa foto itu adalah foto milik Arman.

“Tunggu, kayaknya aku pernah lihat muka ini. Tapi,,”

“Mungkin kamu lihat sekilas waktu di sekolah. Mungkin aja waktu itu dia belum ngajar.” Ucap Ariel menjawab kebingungan Revan dan didukung dengan kata-kata “Bisa jadi!” oleh bu Siska. Dengan itu, Revan harus pasrah untuk berhenti memikirkannya. Setidaknya untuk saat ini.

“Sekarang yang mau saya tahu, apa Bu Siska tahu di mana tempat tinggal asalnya si Arman ini?” ucap Ariel tak ingin menghormati sosok brengsek yang bernama Arman di hadapan Revan.

Sedikit wajah bu Siska terlihat berpikir. Namun kemudian, dia menjawab dengan ringan.

“Setelah SMA, ibu kehilangan kontak dengan Arman. Ibu tahu dia pindah, tapi ibu tidak tahu kemana. Dan setelah hampir 12 tahun sejak itu, baru beberapa hari yang lalu ibu bisa bertemu kembali dengannya.” Ucapnya sedikit mengingat-ngingat. Revan dan Ariel nampak serius menyimak ceritanya.

“Lalu pertanyaan terakhir dari saya Bu. Apa hubungan ibu dengan pak Arman waktu SMA? Sepertinya ada sesuatu yang istimewa tentang itu.” Ucap Ariel yang disambut senyuman puas dari Revan. Ia seakan begitu bangga melihat pacarnya menanyakan pertanyaan itu. Pertanyaan yang juga diakuinya cukup menarik. Sangat menarik malah.

Dan di sana lah mereka, tenggelam dalam kisah masa lampau.

~ To Be Continued... ~

This is not gonna end untill you say “Wow mencengangkan!” Hahahah.. And I think you will never say that. Hmm So Sad. Wkwk :V Just Kidding. See you soon honey!

Episode Selanjutnya Di Sini ;)

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8