Love Season Part 3

Love Season Episode 3

“Lo gk suka sama gw, kan? Gw bukan cewek loh, Van.” Ariel terpaksa menanyakan hal itu kepada Revan. Meskipun terdengar seperti sedang bercanda, tapi ia benar-benar membutuhkan jawaban Revan untuk mengusir keresahannya sendiri. Sementara itu Revan hanya diam. Ia masih memikirkan tentang apa yang harus ia jawab.

“Van?” Ariel mengejutkan Revan yang sibuk melamun untuk menagih jawabannya.

“Hah?”

“Lo gk suka sama gw kan?” Ariel seperti takut klo dia benar.

“Ngomong apa sih Lu?! Makan yuk! Laper nih.. lagian gw masih waras kali..” secepat kilat Revan menyanggah, namun tingkhanya yang aneh sangat menunjukkan isi hatinya yang sebenarnya. Beruntung karena Ariel juga tak ingin curiga.

Sementara itu Revan sendiri masih bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Bagaimana isi hatinya yang sebenarnya dapat disebutkan? Apakah itu sebuah cinta, atau hanya persahabatan aneh yang teramat dalam? “Masa sih gw emang suka sama dia?” dahinya mengerut. “Gk. Gk mungkin,, Gw gk boleh..” teriak batinnya.

“Oh gitu!” Ucap Ariel kembali menanggapi. Mata Revan hampir keluar mendengar tanggapan Ariel yang tiba-tiba. Ia terkejut kalau Ariel bisa membaca pikirannya.

“Lu bisa baca pikiran gw?” teriak Revan terkejut. Dia merasa sangat malu dan takut ketahuan. Getaran tubuhnya pun tak dapat disembunyikan. Keringat mulai mengucur di dahinya. Sementara di hadapannya, Ariel yang semula bingung tiba-tiba tertawa. Revan menjadi semakin tegang dan takut. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak mampu mengendalikan pikirannya. Tubuhnya seakan bukan miliknya lagi saat itu. Namun dia harus mampu sadar.

“Eh, kok.. lllu ketawa sih.. hah..?!” Meskipun ia berusaha membentak Ariel untuk diam, namun Ariel sama sekali tak menggubrisnya dan tertawa semakin keras.

“Iya, gw bisa baca pikiran Lo.. Hahaha... Ternyata... Revan...”

“Stop! Jangan diterusin.” Tangan Revan membekap mulut Ariel.

“Isy,, apaan sih.!” Ariel memprotes perbuatan Revan setelah berhasil melepaskan bekapan Revan dari mulutnya. “Di sini kan Cuma ada kita berdua. Kenapa Lo harus malu banget?” lanjutnya mengeluh.

“Jadi Lu...” kata-kata Revan terpotong oleh kesadarannya yang semakin memulih.

“Apa? Gw Apa?!” bentak Ariel memanasinya.

“Bego! Gw kira Lu beneran bisa baca pikiran orang!”

“Eh, kenapa Lo bentak gw? Yang Bego itu elo. Klo emang gw bisa baca pikiran orang, buat apa tadi gw nanya ke elo? Tapi kayaknya sekarang gw tau apa yang sebenarnya terjadi sama loe. Lo pasti suka sama seseorang terus mau ngajak dia ke sini. Karena itu Lo mau latihan dulu sama gw. Karena Cuma gw yang gk bisa bikin Lo malu. Aah.., Siapa ceweknya? A,,” tiba-tiba Ariel berhenti berbicara. Matanya membulat lagi. Pipinya memerah dan memanas. Di hadapannya, Revan menatapinya dengan sangat gemas. Dan tangannya mencubit pipi kemerahan milik Ariel.

“Ih,, Revan! Gw tuh bukan cewek!” lagi-lagi Ariel memprotes perlakuan Revan terhadapnya. Kali ini ia juga menggenggam tangan Revan seperti ingin meremukkan tulang di dalamnya.

“A.. Ah.. Sakit tau. Abisnya Lu tuh menggemaskan banget. Ngerocos mulu. Bibir manyun-manyun kayak bebek. Lu itu kyak cewek.”

“Iih, Revann! Lo kenapa sih? Mau tau apa yang lebih gk enak dari tingkah Lo barusan? Muka Lo. Ihsy,, gk matching banget. Muka sangar gitu cocoknya di sangarin aja. Jangan dipake manyun-manyun gitu. Lo itu lahir dengan muka kasar, gk cocok jadi cowok imut. Ihyw,, geli liatnya..”

“A...”

“Revan! Udah deh! Please! Stop debatting with me! Gw udah laper banget. Dari tadi malam perut gw kosong. Lo mau gw sakit? Lagian Lo juga laper kan? Debatnya besok lagi deh, yah?!”

Melihat ekspresi Ariel yang lemas, apa boleh buat, Revan harus memaksakan amarahnya terredam. Lagipula tak terlalu salah jika Ariel berkata demikian. Toh, Revan memang selalu dingin. Tapi, memangnya tidak boleh ya kalau Revan mencoba terlihat manis dan hangat?

Ira dan Renata datang lebih awal ke rumah Revan. Berdasarkan plan B, mereka akan menggunakan alasan belajar bersama. Karena kelompok belajar telah dibagi, maka mereka perlu mengajak Revan untuk ikut belajar bersama di salah satu rumah anggota kelompok belajar yang telah disepakati. Rumah Geri.

“Permisi Pak!” Renata dan Ira menyalami seorang satpam yang tengah berjaga di depan rumah Revan.

“Ada apa Mbak? Oh, pasti mau nanyain mas Revan, yah? Hahaah,, mas Revan ternyata punya banyak penggemar juga toh?”

“Maksud Bapak?” ucap Renata mulai menunjukkan wujud aslinya.

“Maksudnya itu, bapak ini ngirain klo kita penggemarnya Revan.” Seakan mengerti, Ira membantu pak satpam tersebut menjelaskannya kepada Renata.

“Tadi juga ada cewek cantik yang nyariin mas Revan. Tadi pagi juga ada anak-anak kecil yang nanyain mas Revan. Terus sekarang Mbak-Mbak ini. Nanti-nanti siapa lagi yah?” ceplos pak satpam bertubuh kurus itu. Beliau memang seorang satpam yang ahli bergosip sepertinya.

“Dasar bapak-bapak ember.” Ira memaki di dalam hatinya. Tapi untunglah, karena mulut embernya, Ira bisa bertanya lebih banyak informasi lagi.

“Eh, hehe.. kita teman sekelasnya Pak. Mau ngajakin Revan belajar bareng. Revannya ada gk, Pak? Tadi kok gk sekolah yah?”

“Gk sekolah? Tadi mas Revannya ke sekolah kok Mbak.” Pak satpam dan kedua siswi SMA itu  masing-masing dibuat bingung.

“Gk Pak. Tadi dia gk masuk kelas. Emang dia bilang apa, Pak?” Ira mulai cerewet.

“Mas Revan gk bilang apa-apa Mbak. Tapi tadi dia pake seragam sekolah. Sekarang aja dia belum pulang. Cuma, tadi mas Revan memang agak aneh.”

“Aneh?” teriak Ira dan Renata bersama-sama. Rasa terkejut mereka menghasilkan suara yang mampu memekikkan telinga pak satpam.

“Aduh Mbaak,, bapak ini belum tuli Mbak..”

“Iyadeh Pak.. Aneh gimana maksudnya pak?” ucap Ira mengulangi.

“Iya ,Pak. Aneh gimana?” tambah Renata.

“Tadi mas Revan lewat ke arah jalan sana. Padahal biasanya ke arah jalan sana.” Terang pak satpam itu sambil menunjuk ke arah selatan dan utara yang jelas-jelas berlawanan. Namun ada yang lebih menarik di sana. Sinta sedang berjalan dan masuk ke rumah seseorang di arah selatan, arah Revan biasanya ke sekolah.

“Ada apa dengan utara?” itulah isi kepala dua gadis itu sekarang. “Sedang apa juga Sinta di sini?” itu pertanyaan terbesar ke duanya...

~09.19~

“Hi,, Ra.. Hi Nat.. Kalian kok di luar?”

“Hi..” jawab Ira. “Hi Marissa!” tambah Renata.

“...Kita lagi jadi mata-mata. Lo masuk aja, di dalam yang lain lagi pada siap-siap tuh.” Lanjut Ira tersenyum. Namun senyuman itu palsu. Dan Renata menyadarinya.

“Ok, semangat yaah..” Marissa melanjutkan langkahnya.

“Ra, Lo yakin?” ucap Renata agak pelan dan serius. Berharap Ira mengerti apa yang sedang ia tanyakan. Dan semoga Ira mau mempertimbangkan kembali resikonya.

“Gw yakin kok. Tenang yaah..” Ira tersenyum saat menjawab pertanyaan Renata. Meskipun hatinya sendiri khawatir, namun ia harus menenangkan Renata. Dan sepertinya, meskipun itu demi dia juga, Renata mau berhenti menunjukkan kekhawatirannya.

“Ra, kira-kira gimana? Plan B bisa berhasil, kan? Lagian semuanya udah datang.” Tiba-tiba suara Geri muncul dari belakang Ira dan Renata yang sedang duduk di kursi taman Geri.

“Kata siapa semuanya sudah datang? Kalian udah jenguk Dylon?” Sinta tiba-tiba datang dari depan rumah dan membuat kaget tiga orang di depannya.

“U.u.uuddah..” Geri tergagap menyadari kesalahannya.

“Terus,, gw sama Doni udah dihitung?” Sinta menggigit giginya sambil menatap tajam teman-teman kelasnya itu. Geri gagap total. Suaranya tertahan di tenggorokannya.

“M.. ma,, m..”

“Ngapain Lo ke sini?” Ira memotong ekspresi kegagapan Geri dengan menghadap Sinta. Mata mereka saling bertautan. Sinta mengangkat alisnya sebagai tanda kemenangannya.

“Lo mau larang gw datang ke acara teman gw?” Sinta bukanlah orang yang dapat dengan mudah dibuat diam. Ia berhasil memojokkan Ira. Berikutnya giliran Geri. “Lo juga Ger, jangan berlebihan deh. Meskipun ini rumah Lo, bijak gk klo Lo ngelarang gw datang ke acara teman gw..?” ucapnya mantap.

“Sorry, Sin! Kita gk maksud gitu kok. Mendingan sekarang Lo masuk aja gih. Kita mau ngomongin sesuatu di sini.” Cepat-cepat Geri meminta Sinta masuk ke rumahnya. Jika dibiarkan, acara ini tidak akan dimulai, apalagi berhasil selesai dengan mulus. Yang ada hanya jambak-jambakan.

“Ok!” Sinta menerobos masuk. “Ohya, Doni ada acara keluarga. Dia gk bisa datang. Tapi katanya klo dia tau Revan udah pulang, dia yang bakal bawa Revan kesini.” Sinta menambahkan di tengah langkahnya. Ira sedikit bingung dengan ucapan Sinta. Di hatinya ada sedikit rasa tidak percaya. Sementara gadis di sampingnya asik mengangguk-ngangguk. Dan Geri.. Ia masih dengan ketakutannya. Gemetar akan kesalahannya. Hatinya berteriak karena tak ingin menyakiti hati temannya. Cukup hanya pada saat-saat yang lalu saja kalau dia harus selalu sendirian tanpa teman yang mau mengandalkan dan mempercayainya. Ia hanya tak ingin ditinggalkan oleh teman-temannya lagi.

Saat Sinta telah menghilang dari pandangan mereka, Ira baru membuka mulutnya lagi. “Gimana caranya Doni bisa tahu klo Revan udah pulang atau belum? Dasar cewek aneh.” Gerutunya.

“Cp,, Ra..!” ucap Renata menegur Ira. Ira menatapnya sadis dan menantang seakan berkata ‘Lo mau bilang apa? Kasih gw penjelasan yang bisa bikin gw tutup mulut setelah Lo mendecak ke gw!’

“Gw kan udah bilang jangan terlalu berlebihan. Negatif thinking itu bisa bawa negatif impact buat pemikirnya. Contohnya barusan Lo udah hampir ngerusak tali pertemanan Lo sama Sinta. Terus yang barusan Lo sebutin itu hampir menghilangkan kedudukan Doni sebagai teman kelasnya Revan. Doni itu punya rumah di dekat rumahnya Revan. Lo ingat rumah yang tadi dimasukin sama Sinta? Itu rumahnya Doni.” Terang Renata panjang lebar mencoba memberi pengertian dan nasihat kepada sahabatnya.

“Hah..? Lo tau? Kenapa tadi Lo gk bilang waktu di rumahnya Revan?” Ira semakin tak percaya pada apa yang tengah terjadi hari ini. Ia mengusap-usap wajahnya dengan tangannya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Hehe,, sorry tadi gw lupa..”

“Balik lagi nih begonya. Aduh Nat, Lo itu pinter apa bego sih? Gw masih bingung sama Lo..” rintihan Ira menggema dalam ruang kepalanya yang ia huni sendirian itu.

Sementara itu Geri hanya berdiri diam menerka-nerka kejadian yang dibicarakan oleh dua orang ini. “Udah selesai diskusinya?” selanya mencoba mencari ruang bicara membuat Ira dan Renata berhenti berdiskusi sendiri.

“Eh, iya. Masih ada Geri yah! Lupa.” Sahut Renata polos tak bersalah. Untung saja senyumannya manis, jadi tak susah membuat Geri bungkam melihatnya.

“Sorry ya, Ger! Kayaknya kita harus nunggu bentar lagi deh. Harapan kita sekarang tinggal Ariel. Soalnya tadi kayaknya mereka keluar bareng, makanya barengan bolos ke sekolah.”

“Oh gitu. Terus, Lo udah ngontak ke dia?”

“Klo itu udah, Cuma belum dibalas dari tadi pagi.”

“Mereka belum pasti datang dong?”

“Sorry, Ger!” Ira menundukkan kepalanya. Rasa bersalah muncul di hatinya. 2 kali sudah dia merepotkan teman-temannya hari ini.

“Sorry buat apa, Ra?” Geri mengerti alasan Ira. Dan ia juga mengerti harus berkata apa.

“Sorry karena udah ngerepotin kalian.” Suaranya semakin melemah. Renata mengusap pundaknya sambil menenangkannya.

“Udahlah Ra, gk ada yang perlu dimaafin. Kita justru berterima-kasih sama Lo karena udah ngingatin kita. Inikan ulang tahun teman kita juga, bukan teman kamu aja.” Geri tersenyum bangga kepada Ira yang lemah menatapnya. Baru kali ini ia berani berkata seperti itu langsung kepada seseorang. Ternyata ia mampu melakukannya. Membuat seorang teman tersenyum tenang di saat ia hampir menangis karena sesuatu. Menyentuh hati seseorang.

“Iya, Ra. Jangan terlalu banyak mikir yah.” Tambah Renata masih dengan mengusap bahu Ira.

“Makasih ya, Ger! Nat!” Ira kembali tersenyum dan garis semangat kambali hadir di wajah cantiknya.

“Iya sama-sama, Ra. Tapi yah, Cuma kendalanya sekarang adalah ruang dan waktu yang dimiliki oleh teman-teman yang lain Ra. Setelah jam 8 kayaknya mereka udah harus pulang deh.”

“Yah, Ger.. bantuin gw dong! Bikin mereka gk bosan pliss.!”

“Ok, maksimal jam 8 loh..” ucap Geri sembari berjalan masuk.

“Ok, sekarang kita hubungi Ariel lagi.” Ira berkomando sambil menekan-nekan tombol handphonenya. Wajahnya mulai serius dengan semangatnya yang tak ingin gagal dan mengecewakan teman-temannya yang telah ia repotkan. Terutama, ia memang sangat ingin rencana ini berhasil.

“Kenapa gk sekalian Revannya aja dihubungin?” usul Renata sedikit bertanya. Matanya menatap Ira yang masih berkutit dengan tombol-tombol di tangannya itu. Jujur saja pertanyaan itu telah ada di kepala Renata sejak pagi tadi.

“Gk ada yang punya nomornya Revan yang sekarang. Dan dia gk buka akun sosmednya sama sekali. Hampir gk pernah aktif lagi.” Jelas Ira tanpa memindahkan arah pandangannya.

“Oh Gitu..” ucap Renata mengangguk-ngangguk tanda mengerti.

Teet.. Teet.. Handphone Ariel berbunyi lagi. Cahayanya terlihat terang di tengah kamar Ariel yang gelap tak bercahaya.

~19.56~

“Van, makasih ya. Hari ini seru banget.” Ariel tersenyum bahagia. Revan baru saja mengantarnya pulang setelah melakukan banyak hal bersama. “Lo gk mau mampir dulu? Kita makan malam bareng di rumah gw.”

“Gk deh. Gw mau ke apartemen aja.” Jawab Revan tenang.

“Lo beneran gk bisa ke rumah Lo? Kenapa gk nginap bareng gw aja? Lagian, klo malam gw sendirian di rumah.” Ariel menjadi murung karena kata-katanya sendiri. Melihat hal itu Revan sedikit berpikir. Namun segera setelah itu Ariel kembali tersenyum. “Tapi gk apa-apa kok. Klo Lo mau ke apartemen Lo, gw juga gk maksa. Yaudah,, Hati-hati yah!”

Ariel menepuk punggung Revan. Ia tak membiarkan Revan mengucap sepatah katapun. Akhirnya dengan terpaksa, Revan yang dilema memilih pergi begitu saja.

Ariel melangkah pelan. Perjalanan panjang dari pagar hingga rumahnya tak dihiraukannya. Satpam, tumbuhan, angin, dan burung tak mampu menarik perhatiannya. Jelas ada yang dipikirkannya. Wajahnya murung tertunduk. Sampai di depan pintu rumahnya, Ariel mengusap sedikit air yang membasahi ujung matanya.

Berbeda dengan beberapa bulan lalu, beberapa bulan terakhir ini ia tak pernah lagi berkata aku pulang atau mengucap salam saat masuk ke dalam rumahnya. Wajah ibunya hadir dalam ingatannya. Suara tawanya bersama dengan ayah dan ibunya semakin jelas di telinganya. Kini air mata yang dihapusnya kembali mengalir dan menjadi semakin deras. Ariel masih mencoba menghapus air matanya lagi. Hatinya melarangnya untuk menangis. Perlahan ia membuka pintu rumahnya.

“Hahh!!!” Ariel menghentak keras melepaskan belenggu yang mengikat dan menyesakkan dadanya. Ia berjalan cepat ke kamar mandi dan segera mencuci wajahnya. Berharap pikirannya akan kembali segar dan sepertinya mulai berhasil. Perlahan senyumnya mulai melebar dan semakin melebar di matanya. Cermin di hadapannya memperlihatkan air mata yang berhasil di samarkan dengan mencuci wajahnya. Ariel masih melangkah pelan. Namun hatinya sudah sedikit tenang. Ia harus sanggup menghadapi semua ini saat ia berdiri seorang diri.

Tak terasa langkahnya telah sampai ke depan pintu kamarnya. Suara handphone di dalam kamarnya baru saja berakhir. Sementara itu, di seberang sana Ira dan Renata terus mencoba.

“Dia nggak ngangkat lagi.” Ira mengeluh. Lebih tepatnya, ia resah dan khawatir. Rasanya menerima rencana yang telah disiapkan sejak lama itu berakhir sia-sia adalah hal yang sangat menyakitkan.

“Coba lagi, Ra!” saran Renata menambah semangat sahabatnya. Ira tentu menurut dan menekan kembali tombol-tombol handphonenya.

Teet.. Teet.. Teet..

“Ayo dong Riil, angkat please!” meskipun Ira melonjak-lonjak memanggilnya, namun apalah daya, Ariel tak dapat mendengarnya dalam jarak yang tertaut beberapa mil itu. Yang dapat membantu Ira hanya suara getar ponsel Ariel. Mendengar bunyi itu, Ariel segera masuk ke kamarnya. Cahaya handphonenya yang menonjol di tengah kamar yang gelap itu memudahkannya meraih handphone itu.

Tuut..

Tepat saat di tangannya, handphone itu mati. “Ah, Pake lowbat lagi!” teriak Ariel geram.

“Hah? Dimatiin? Berarti dari tadi Ariel udah dengar, tapi dia emang gk mau ngangkat.” Ira meremas kuat handphone di tangannya. Berharap bahwa itu adalah Ariel yang akan remuk di tangannya. Renata hanya bisa mengikuti jalan pikiran Ira yang sedang ia lihat saat ini. Seandainya mereka tahu kebenarannya.

“Terus kita gimana?” bingung bersarang di kepala Renata ketika melihat Ira berekspresi seperti itu. Sementara Ira sendiri masih memikirkan kelanjutan rencananya. Akankah sia-sia karena amarahnya kepada Ariel?

“Aduh,, charger mana yah? Ah, nyalain lampu dulu deh” Ariel panik sendiri di kamarnya. Ia yakin ada sesuatu yang besar telah ia lewatkan hari ini tanpa handphonenya. “Charger! Charger! Charger!” gumamnya tak berhenti sembari mencari letak charger kesayangannya.

“Aha, ini dia nih si manis..” Ariel kembali bertingkah imut. Ia bersorak riang saat menemukan charger kesayangannya itu. Dengan terburu-buru dan hati yang penasaran, ia memasangkan charger itu dengan handphone di tangannya.

Teet.. Teet.. One New Massage from : +6287774669990

Geri segera membuka pesan baru di handphonenya. Ia membacanya dengan suara pelan tertahan, namun dengan senyuman penuh tak tertahankan.

“Tadi aku lupa bilang. Rumah kamu besar juga yah sayang. Halamannya cukup tuh buat dijadiin sawah. Atau mungkin dijadiin kuburan aja. Heheh :*” setelah tersenyum lebar, Geri mulai menekan-nekan layar handphonenya.

“Makasih, tapi kok mau dijadiin kuburan sih? Serem banget. :D” balasnya ke nomor yang sama.

“Khusus buat kita sayang. Hehehe,, bercanda kok. Kamu lagi ngapain?”

“Aku lagi ada acara ultah temanku nih.”

Teet.. Teet.. pesan masuk lagi.

“Ger!” sebuah suara memanggil Geri dan berhasil membuatnya terkejut. Wajah Geri berubah panik. Seakan tak ingin ada yang tahu tentang apa yang baru saja ia lakukan.

“Kenapa?” sahutnya dengan detak jantung yang tak biasa. Ia segera menuju ke arah sumber suara sambil menyembunyikan handphonenya ke dalam saku celananya. Sementara itu, pengirim sms di seberang sana tersenyum jahat. Ia berpakaian seperti seorang raja kegelapan modern dengan jeans dan jaket bertudung yang serba hitam kegelapan. Hanya senyumnya yang terlihat di sana.

“Menyerah?!” Geri berteriak tidak percaya melihat tingkah kedua teman di depannya. Rencana yang cukup menguras tenaga dan emosinya ini harus dibatalkan. Yah memang. Rencana ini memang kurang berantisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Seperti Plan A, Revan tidak ke sekolah. Plan B, Revan susah ditemukan. Meskipun begitu, rencana itu memang memiliki persentase keberhasilan yang besar mengingat kenyataan dalam sehari-harinya tentang Revan dan segala rutinitasnya. Setidaknya itulah yang mereka ketahui.

Sementara itu, Ariel telah berhasil menyalakan handphonenya.

“Tak.!!” Seperti ditampar oleh seseorang. Ariel membuka matanya besar-besar saat membaca pesan dalam penanda tugas dan acara pentingnya. Kini tulisan 112 missed calls dan 37 new massage di handphonenya tak berarti lagi. Jari jari tangannya bergerak cepat tanpa dikomando. Sesaat kemudian ia menempelkan handphone itu di telinganya.

“Halo Revan? Darurat, Van. Bantuin Gw Pliss..!” sahut Ariel panik di seberang telepon Revan.

“Lo kenapa?” teriak Revan khawatir.

~ To Be Continued...

Episode Selanjutnya : “Akhh..” tiba-tiba Ariel berteriak dari dalam rumah. Revan tak lagi diam. Ia berlari secepat mungkin untuk bisa masuk ke dalam rumah yang masih begitu gelap dan tenang itu.

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8