Love Season Part 4

Love Season Episode 4

Malam yang sepi di rumah Ariel. Ia sendirian di kamarnya. Matanya bergerak membaca isi pesan yang ditampilkan layar elektro kecil di tangannya.

TAK..!! matanya membulat besar seperti orang yang baru saja ditampar. Tak tunggu lama, jari-jarinya kini mengambil alih layar ponsel itu. Ia menekan cepat layar handphonenya beberapa kali lalu menempelkannya ke telinganya.

“Halo! Revan? Darurat Van, bantuin gw pliss!!”

“Lo kenapa?” terdengar suara Revan yang khawatir di seberang sana.

“Gw tunggu Lo di depan rumah gw.” Ujar Ariel panik membuat Revan semakin khawatir.

Revan segera turun dan mengeluarkan motornya. Suara deruman motornya terdengar nyaring di sepanjang jalan menuju rumah Ariel. Sementara itu Ariel sendiri masih sibuk mengutak-atik handphonenya dan menekan-nekannya cepat dengan wajah panik. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.

“Bubar?” ucap Geri terkejut. Ia tak menyangka teman-temannya akan berkata seperti itu. Namun ia hanya bisa pasrah, ia tak bisa memaksakan kehendak kepada teman-temannya untuk terus melanjutkan acara yang tak jelas akan berhasil ini.

“Ok,, tapi kalian yang ngomong ke anak-anak yah.. gw gk bisa.” Ucapnya frustasi. Geri masih pasrah dalam keterpaksaannya. Hatinya berat atas acara hari ini. Renata dan Ira juga hanya bisa membalasnya dengan senyuman lemah, mencoba memberitahu bahwa mereka mengerti perasaan Geri.

“Iya, kita ngerti kok. Maaf kita udah ngerepotin kamu.” Ira sedikit menunduk ketika Geri mengangguk pelan. Melihat suasana saat itu, Ira dan Renata mengerti bahwa mereka harus membiarkan Geri sendirian. Geri pasti akan mengikuti mereka ke dalam. Tapi nanti. Ira dan Renata pun masuk menemui teman-teman yang lain.

Ira dan Renata telah amblas termakan ruang, Geri mulai berani mengangkat wajahnya. Ia merogoh saku celananya untuk mengeluarkan handphonenya dan mulai menekan-nekannya. Kali ini wajahnya tak se-berseri sebelumnya. Perlahan ia menarik matanya dan membaca pesan masuk terakhirnya.

“Gimana acaranya?” tanpa berpikir lagi, Geri menuliskan jawaban untuk dikirimkan kepada si pemilik nomor yang ia panggil sayang.

“Gk jadi sayang, katanya mau dibatalin. Soalnya yang ulang tahun gk dateng. Surprisenya gagal.” Geri menarik dalam nafasnya. Mengumpulkan segala bentuk kekuatan yang tersebar di udara malam ini. Mungkin akan cukup untuk menopang tubuhnya yang kini terasa lemah tak berenergi. Teet.. Teet.. Pesan masuk lagi.

“Teman-teman!! Kita ada pengumuman. Mohon perhatiannya sebentar.” Sahut Ira di tengah-tengah keramaian teman-temannya. Perhatian kini telah didapatkannya, Ira siap untuk bersuara lagi.

“Sebelumnya gw minta maaf sama loe semua, karena udah ngerepotin. Dan lagi-lagi gw harus,,,”  Teet..Teet.. handphone Ira bergetar di tangannya dan memotong kata-katanya. Perhatian semua orang kini terpecah ke arah handphone itu. Ira segera mengangkat telepon itu. Wajahnya terlihat sedikit kesal dan bingung.

“Halo?” tuut.. tuut.. tuut.. panggilan itu berakhir begitu saja tanpa ada jawaban dari si penelpon. Teet,, Teet,, Kini sebuah pesan masuk menyibukkan Ira dengan mata dan wajahnya yang masih nampak kesal.

“Siapa, Ra?” pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari seseorang di antara mereka yang memperhatikan Ira. Lalu mulai tercopi ke mulut-mulut lainnya.

“Ariel, kita mau kemana?” Revan berteriak di atas motor besarnya yang melaju kencang itu.

“Di depan belok kiri, habis itu klo ada pertigaan belok kanan. Klo udah masuk komplek, motornya dipelanin aja yah!” jawab Ariel ikut berteriak.

“Revan,,,” ucap Ira tergantung. Senyuman puas terpancar di wajahnya. Ia memandangi wajah teman-temannya seperti taman bunga yang sedang mekar. Sedangkan teman-temannya hanya menunggu kata-kata selanjutnya yang akan ia ucapkan. Senyumannya kini semakin lebar.

“Revan bentar lagi nyampe. Ayo kita siap-siap.”

“Hah?” teman-temannya terlihat terkejut mendengarnya. Mereka langsung panik dan berlari pontang-panting kesana-kemari untuk siaga di posisinya masing-masing.

“Ger!” sahut Renata di halaman.

“Hah, iya?” jawab Geri kaget. Ia segera menyembunyikan handphone di tangannya dan mengantungkannya.

“Acaranya tetap jadi. Revan bentar lagi nyampe, Ger!” Renata dengan gembira mengabarkan hal itu kepada Geri. Geri juga nampak sangat senang mendengarnya.

“Ohya? Baguslah. Sekarang Lo masuk aja duluan. Gw nyusul bentar lagi.”

“Ok.” Balas Renata kembali ke dalam rumah. Secepat kilat Geri kembali berkutat dengan handphonenya. Ia menulis pesan lagi. Untuk orang yang dia panggil sayang dengan senyuman yang penuh di wajahnya. “Semuanya siap sayang :)”

“Stop di sini, kita udah nyampe.” Ariel menghentikan Revan dengan motor besarnya di depan sebuah rumah yang sudah gelap.

Tanpa berkata apapun, Ariel turun dari motor besar itu dan berlari ke dalam rumah tersebut tanpa menghiraukan Revan. Ia meninggalkannya tanpa berkata apapun. Sekarang Ariel sudah menghilang di balik pintu rumah, namun Revan masih berdiri di dekat motor besarnya. Ia bingung harus berbuat apa. Ia hanya bisa berjalan mondar-mandir mengkhawatirkan Ariel.

“Akhh..” tiba-tiba Ariel berteriak dari dalam rumah. Revan tak lagi diam. Ia berlari secepat mungkin untuk bisa masuk ke dalam rumah yang masih begitu gelap dan tenang itu. “Cklk..” suara pintu terbuka berbunyi saat Revan masuk ke rumah itu tanpa mengucap salam. Kini Revan ada di dalam rumah itu. Gelap dan hening. Sementara Ariel yang tadi berteriak juga masih belum terlihat.

Tek.. Tek.. Tek.. suara langkahnya terdengar jelas di tengah keheningan ruangan itu. Perlahan tapi pasti, Revan masuk semakin dalam.

“Ariel!?” Revan menyahut pelan mencari sosok sahabatnya yang masih tak unjuk gigi di telan keremangan.

“Nyalain lampu di sebelah kiri Lo, Van!” sahut Ariel dengan suara panik. Revan menjadi ikut panik dan langsung mencari tombol lampu ruangan itu.

Tek,,,

“SURPRISE…!!!!” Serentak semua orang menyorakkan kata surprise dan membuat Revan terkejut. Wajahnya kosong menanggapi ulah teman-temannya. Pria dingin dan kaku itu baru saja diberi kejutan untuk ulang tahunnya, tapi dia tidak tahu harus bagaimana. Wajahnya sama sekali kosong tanpa isi. Melihat hal itu teman-temannya sedikit canggung, takut kalau Revan tidak suka pada kejutan yang mereka berikan. Hanya Ariel, hanya dia sendiri yang tersenyum lebar tanpa khawatir sama sekali kalau Revan tidak akan suka. Sementara itu Revan masih setia dengan wajah kosongnya.

Perlahan di tengah teman-temannya yang diam tanpa suara seperti Revan, Ariel melangkah maju menghampirinya. Bahkan Ira dan Renata pun takut kalau Revan benar-benar tidak suka kejutan mereka.

“Woe!! Loe itu baru dapat kejutan, muka Lo kenapa bengong gitu?” ucapnya sambil tersenyum. Kini ia hanya berjarak dua langkah dari Revan yang masih terlihat bingung. Dia bingung harus bagaimana menanggapi kejutan seperti ini. Hal yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Revan mengangkat wajahnya untuk melihat mata milik Ariel, mencoba menemukan jawaban dari kebingungannya. Ariel sedang tersenyum ke arahnya, ke arah wajah bingungnya. Ariel yakin ia bahagia, matanya berkaca-berkaca melihat kebingungan teman-temannya. Ada rasa haru di sana, ada rasa sakit juga yang datang dari ibanya.

Ketika Revan menangkap matanya, Revan tahu apa yang ingin ia lakukan. Ia melangkahkan kakinya lebih dekat dengan Ariel. BRUK,,, dan kini Revan memeluk Ariel kuat tanpa menghiraukan orang lain yang ada di sana. Teman-temannya yang tercengang dengan mulut setengah terbuka melihat pemandangan asing itu. Ariel? Katakan saja ia sedang dilanda gempa besar. Tubuhnya bergetar hebat. Darahnya mengalir deras kerena bahagia, haru, iba, dan terkejut. Namun ia tetap tersenyum. Bahagia yang ada di dalam hatinya jauh lebih besar dari apapun.

“Thanks, Riel!” ucap Revan haru sambil mengencangkan pelukannya pada Ariel. Air matanya mulai menetes dan membuat jalannya di atas kulit halus wajahnya. Tetes demi tetes itu kini mengalir seperti sungai kecil di tengah salju.

Ariel mengusap punggungnya sedikit. Ia ingin sekali rasanya lebih lama memeluk Revan seperti itu. Penuh perasaan. Namun ia sadar bahwa mereka ada di depan teman-temannya yang akan segera berteriak protes terhadap drama persahabatan mereka.

“Van, ini semua bukan ide gw sendirian. Bahkan tadi gw sempat lupa karena Lo ngajakin gw keluar sampe gw sibuk main sama loe. Ini semua murni dari teman-teman, tapi mereka sempat takut, takut Lo gk suka. Tapi untungnya ada Ira sama gw. Jadi sekarang hapus air mata loe, dan kasih mereka senyum lebar. Happy BirthDay yaah..!!” bisik Ariel sedikit lama dalam pelukan mereka. Revan sempat terkejut mendengar ceritanya, namun ia dengan cepat memahaminya. Ia mengerti harus bagaimana sekarang. Segera ia melepaskan pelukan mereka sambil keduanya menghapus air matanya.

Ariel mengusap matanya mengeringkan sisa air matanya, dan berniat untuk membantu Revan mengucap kata terima kasihnya. Ia tahu siapa Revan. Berkata terima kasih pada orang lain selain dirinya bukanlah hal yang mudah bagi pria yang dikenal acuh itu.

“Aaah..” ucap Ariel mencoba menarik perhatian.

THANKS SEMUANYA. Ah, SEKARANG LU SEMUA BISA LIHAT AIR MATA GW, YAHH, HARI INI GW NANGIS. GW HARUS BILANG KLO GW GK TAU MAU BILANG APA KE LO SEMUA. YANG GW TAHU, MESKIPUN ANEH RASANYA, BAIK BAGI GW, MAUPUN BAGI LO SEMUANYA,,, THANKS! THANKS UDAH MAU CAPEK-CAPEK NGELAKUIN INI BUAT GW.

Semua orang tersenyum puas. Mereka senang melihat reaksi Revan yang begitu dalam mengharagai pemberian mereka. Reaksi Revan yang tidak acuh seperti biasanya. Ariel, dia menganga. Terlalu terkejut. Hingga satu kata membangunkannya dari rasa tidak percayanya melihat Revan berkata seperti itu.

“HAPPY BIRTH DAY REVAN!!” kata-kata itu dimulai oleh Ira. Datang membanjiri Revan dari mulut-mulut lain. Kini mereka semua hanyut dalam suasana kenyamanan rasa saling menghargai. Revan mendapat pelukan dan jabatan tangan dari teman-temannya. Kini ia benar-benar jauh berbeda di mata teman-temannya. Perbedaan itu akhirnya membawa kebahagiaan ke arahnya.

Meskipun agak terlambat, akhirnya Revan berhasil meniup lilinnya. Ia memotong kue di tangan Renata. Kue besar itu kini telah terbagi menjadi puluhan potongan kecil.

“Potongan pertama ini buat siapa, yah?” ucap salah satu orang dari mereka mengundang sorakan dari yang lainnya.

“IRA! IRA! IRA! IRA! IRA! IRA!...” sontak wajah Ira memerah padam mendengar sorakan teman-temannya. Revan melihat Ariel, ia ingin tahu apa yang dikatakan olehnya.

“Ayo, Van. Dari semua orang yang ada di sini, yang paling minat sama loe itu Ira. Udah kasih ke Ira aja.” Sahut Ariel membuat Revan meringis. Seakan hatinya diremas-remas. “Terus gimana sama lu? Lu gk suka sama gw?” ucap batinnya meringis.

Tak lama kemudian, Revan berhasil mendekatkan sendok kue di tangannya ke mulut Ira. Sambil tersenyum manis, Ira menyambut suapan itu dengan sangat bersemangat. Balik lagi, kini Ira yang bergiliran menyuapi Revan. Meskipun agak canggung, namun Revan mau membungkukkan tubuhnya sedikit untuk menyambut suapan dari Ira. Dan, mau tidak mau ia harus tersenyum saat itu. Dan,,, Tebak siapa yang sedang ngilu hatinya? Di sana ada Ariel yang meremas seragamnya sendiri, tepat di dadanya.

“Kenapa gw harus sakit ngeliat Lo senyum ke orang lain, Van? Kenapa gw tadi nyuruh Lo nyuapin Ira klo ujungnya gw yang sakit hati? Tapi kenapa gw harus sakit hati?” keluh batinnya seakan tak ingin berhenti.

“Lo kenapa, Riel?” ucap Geri melihat tingkah Ariel yang seperti kesakitan itu. “Lo sakit?” ucapnya lagi.

“Ah,, mag gw kambuh.” Jawab Ariel berbohong. “Ohh,, balas Geri mengangguk.

“Van!! Ini loh si Ariel minta disuapin juga.” Sahut Geri tiba-tiba membuat Ariel kelabakan. Ia tak berpikir bahwa Geri akan berkata seperti itu. Semua mata menatap Ariel sedikit heran, ada pikiran-pikiran bodoh yang muncul di sana.

“Aa,, ah.. gk kok.. gw gk minta disuapin kok..” Ariel berusaha membela dirinya. Meskipun wajahnya tak mampu menghapus kecanggungannya.

“Iya, bukan Lo yang minta, tapi hati Lo.” Balas Geri lagi. Ada apa dengan Geri sekarang? Ia sudah semakin percaya diri sekarang. Tidak seperti kemarin-kemarin. Kata-kata Geri lagi-lagi mampu mempengaruhi ekspresi wajah setiap orang yang melihat mereka berdua, terutama Ariel.

“Apa-apaan sih, Ger.” Ucap Ariel sedikit tidak suka. Bukannya marah, tapi ia hanya sedikit mencoba menutupi rasa malunya.

“Kan Lo bilang tadi Lo mag.” Balas Geri lagi..

“Iya gw mag. Jadi yang minta makan itu gk mungkin hati gw, ini namanya lambung, Ger.” Ucap Ariel sedikit kesal sambil menunjuk dadanya.

“Yaudah sorry. Tapi gw bener kan, klo Lo mau disuapin?” kembali Geri membuatnya naik pitam dengan ucapan dan senyum manisnya yang terasa menyindir.

“Mag itu berarti gw mau makan, bukannya minta disuapin. Gw mau makan, makanan, bukan suapan. Rese Lo.” Bentak Ariel. Sontak bentakan itu membuat banyak mata terbelalak. Tentu saja, mereka tidak pernah melihat Ariel semarah itu. Ariel juga bahkan tak pernah membentak orang sampai terdengar sangat kasar seperti itu. Ariel sendiri sadar akan tingkahnya sekarang, tapi dia hanya bisa melakukan hal itu, demi menutupi kecemburuannya yang mungkin akan tercium oleh teman-temannya.

“Udah-udah..! Nih!” ucap Revan sigap menghampiri dua pria yang asyik berdebat itu. Tangannya mengarahkan sepotong kue ke mulut Ariel. Ariel menatap Revan kesal, ia merasa dipojokkan oleh tingkah Revan yang seperti itu.

“Gw gk mau disuapin, gw mau makan sendiri. Ini juga gara-gara Lo, mag gw jadi kambuh.” Ariel menggerutu. Ia memaki Revan dengan wajah sangat kesal. Harus diakui kalau wajar dia kesal. Keadaan saat itu membuatnya nampak menyedihkan. Dipojokkan oleh teman-temannya.

“Makanya, karena gw yang udah bikin Lo mag, gw juga yang harus ngobatin Lo. Nih makan!” ucap Revan masih menyodorkan sendok kue itu ke mulut Ariel. Wajah dan senyuman Revan membuat Ariel semakin kesal. Ia kesal pada situasi dimana dia dipojokkan saat ini, dan ia juga muak pada perasaannya sendiri. Perasaannya yang meluap-luap pada Revan itu membuatnya merasa sakit sendiri. Bahkan saat dia begitu kesal itu pun, ia masih ingin mencium bibir tipis Revan yang manyung-manyung di hadapannya.

“Rese Lo!” makinya menampar wajah Revan pelan. Semua orang terkejut melihatnya. Terutama Revan.

“Ger!” teriak Ira. Ira tentu saja tak mau diam saja melihat orang yang dia suka ditampar semudah itu oleh orang lain. Melihat wajah Ira seperti itu, Ariel mengerti. Seperti biasanya, selalu dia yang harus mengalah, selalu dia yang berkorban.

“Lo beneran marah? Tumben banget.” Ucapan Revan membuat Ariel tercengang, ia merasa aneh dengan keadaan yang tidak karuan itu. Biasanya Revanlah yang kesal, dan dialah yang harus membujuknya. Kali ini, ketika dia marah, Revan hanya menanggapinya dengan candaan. Bahkan Revan dengan sangat tenang tertawa kecil di depannya.

“Ger, mending Lo minta maaf deh.” Ucap Sinta. Teman-teman yang lainnya juga ikut mendukung Sinta. Ada pula yang membujuk Ariel untuk meredam kekesalannya.

“Iya Ger, minta maaf aja deh.. Ariel kan jadi kesal. Ariel, maafin Geri yah. Kita juga minta maaf, klo mojokin kamu.”

“Iya Riel. Jangan marah dong, masa kita lagi senang gini, kamu malah kesal-kesal sendiri.”

“Iya Riel.”

“Ger, ayo minta maaf.”

“Riel, maafin gw yah. Barusan gw Cuma bercanda. Gk tahu klo Lo bakalan marah. Jangan marah yah.” Ucap Geri mengulurkan tangannya.

“Udah Riel, maafin aja.”

“Iya Riel, gk usah ditanggapin serius. Geri Cuma bercanda kok.” Ariel yang salah tingkah mendengar bujukan yang membanjiri udara di ruangan itu, akhirnya meleleh dan menjabat tangan Geri. Ia memang bukan tipe penyimpan dendam. Ia lebih suka memaafkan, meskipun harus menempuh sedikit waktu untuk mengobati sakit hatinya sendiri.

“Yeaa, Ariel udah beneran gk marah, kan?” sahut Renata gembira dan Ariel hanya mengangguk.

“Ok, berarti sekarang suapan keduanya buat siapa?” sahut seseorang mengundang sorakan dari yang lain.

“ARIIIIIIEL!!!!” sorak semuanya serentak.

“Klo gk mau, berarti Ariel masih marah loh.. Ayo Riel, terima aja!” Sahut Renata di antara teman-temannya.

“Ok,, Ok..” kesah Ariel pasrah. Revan pun berhasil menyuapinya sambil tersenyum puas. Lalu ia melanjutkan dengan menyuapi teman-temannya yang lain.

Acara makan-makan sudah selesai, kini saatnya mereka memberikan kado itu untuk Revan. Tanpa ada yang menyadarinya, seseorang dengan pakaian serba hitam yang menutupi hampir seluruh tubuhnya itu sedang menonton kemeriahan mereka dengan wajah sinis berisi senyum jahatnya.

“Van, kita punya kado buat kamu.” Ujar Ira semangat. Teman-teman yang lainpun ikut semangat mengiyakan kata-kata Ira.

“Ger!” Sahut Ira ke arah Geri yang sedang berdiri di dekat sebuah gunungan barang yang ditutupi kain hitam.

“Ini dia kadonya buat Revan. Tara..” Geri menarik kain hitam itu hingga nampak seluruh kado yang ada di tempat itu.

“Wow..” ucap Revan sedikit berbisik. Dia tidak pernah menyangka akan memiliki malam seperti ini dalam hidupnya.

“Boleh Gak gw buka kadonya langsung di sini aja? Gw gk bisa bawa pulang kado sebanyak ini malam ini. Besok gw ambil lagi pake mobil.” Revan memberi usulan. Teman-temannya mulai sibuk berbicara sendiri.

“Buka sekarang aja sayang, dan lihat kado gw buat Lo.” Ucap pria tak dikenal di luar rumah Geri. Ia tersenyum puas. Tertarik melihat wajah Revan saat membuka kado untuknya.

“OK. Ini kan kado buat Lo, terserah Lo aja.” Jawab Ira mewakili teman-temannya.

“Aa,, Van, gw gk punya kado buat Lo.” Ujar Ariel terbata karena merasa bersalah. Revan berbalik, ia menatap wajah kusut Ariel saat ini. Lalu dia tersenyum.

“Lo gk usah kasih kado ke gw. Tadi gw udah bikin Lo gk sekolah, Lo kira kenapa? Itu kado buat gw.” Ujar Revan sambil tertawa jail. Ia membuat yang lain ikut menertawai Ariel.

“Jadi kalian tadi bolos barengan karena keluar berduaan. Dasar,, sejak kapan Lo jadi nakal, Riel? Hahahah..”

“Boleh dong, klo lain kali kita ngajakin Ariel bolos bareng. Hahaha..”

“Ariel jadi nakal kayak Revan yah?” Renata kambuh. Ia kembali lelet seperti biasanya.

~ To Be Continued...

Episode Selanjutnya : I LOVE YOU REVAN! I LIKE YOU! I WANT YOU! I NEED YOU! DON’T HATE ME! Sebuah boneka berdarah keluar dari salah satu kado untuk Revan. Semua orang tercengang. Siapa yang memberikan kado seperti itu? Siapa laki-laki yang menguntit mereka sebenarnya?

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8