Love Season Part 6

Love Season Episode 6

Ariel dituduh melakukan sesuatu yang aneh. Semua kado untuk ulang tahun Revan dihancurkan dalam semalam. Surprise yang awalnya menyenangkan berubah menjadi peristiwa aneh yang meninggalkan banyak pertanyaan. Tapi yang paling penting, siapa yang mau melakukan hal gila seperti itu?

“Doni. Itu kado yang Doni kasih.” Ucap geri menjawab pertanyaan Revan. Kado yang berisi teror itu adalah milik Doni.

Suasana menjadi riuh. Ariel dan Revan ikut berpikir. Semua orang di sana seakan mendapat jawaban tepat di balik semua peristiwa ini. Doni bukanlah jawaban yang memiliki porsentase salah yang besar mengingat kesehariannya yang selalu tak bisa bertemu dengan Revan. Tapi, itu bukan berarti dia sebenci itu dan mau melakukan semua ini, kan?

“Gk. Doni gk mungkin ngelakuin ini. Dia lagi ada acara keluarga di rumahnya.” Ucap Sinta tak percaya. Sampai titik terakhirpun, dia akan tetap membela Doni. Kekasihnya.

“Udahlah Sin! Lo Gk Usah Pura-Pura Lagi! Semua Bukti Udah Jelas. Doni Itu Emang Gk Suka Sama Revan. Dia Itu Benci Sama Revan. Dan Lo Gk Bisa Nyangkal Itu. Lo Juga Udah Bantuin Dia, Kan?” teriak Ira menunjuk-nunjuk wajah Sinta. Sinta yang geram hampir saja memukulnya, namun tangan teman-temannya yang lain dengan cepat menghalanginya. Mereka dengan sigap melerai kedua orang itu.

“Kenapa Lo semua selalu aja nyudutin Doni? Van, gw gk bohong Van. Doni gk ngelakuin ini.” ucap Sinta menangis. Dia tidak tahan mendengar teman-temannya mencurigai kekasihnya melakukan hal segila ini.

“Alah, gk usah pake acting nangis segala deh Lo. Tadi Lo sendiri yang bilang klo acara ini gk bakal berjalan mulus. Lo mau nyangkal apa lagi?” sahut Ira membalasi adegan nangis Sinta membuat Sinta tak tahan ingin mengacak-acak wajahnya. Tapi sekali lagi itu tak akan terjadi selama masih ada teman-temannya yang lain.

Sementara di sana Ariel dan Revan masih berpikir keras. Jika memang iya Sinta dan Doni bekerja sama untuk menghancurkan acara malam ini, itu berarti masih ada satu orang lagi yang ikut bersekongkol. Geri. Ya, Geri. Itu karena timing untuk menghancurkan semua kado itu sangat tepat dengan timing Kembang Api yang Geri kabarkan. Karena jika tidak, maka semua kado itu tidak akan sempat dihancurkan. Jadi, kembang api itu juga sudah direncanakan. Ira dan kawan-kawan bilang itu tidak ada dalam rencana, tapi Sinta mendukung Geri agar semua orang mau mengikutinya. Dan Doni, masuk untuk menghancurkan semua kado itu. Setelah itu dia pergi dengan cepat. Mungkin sekarang sudah tak terkejar lagi.

“Van!” ucap Ariel berbisik menarik lengan seragam Revan. Revan menatapnya sayu. Wajahnya lemah bercampur kesal. Dia pasti sangat terpukul oleh kejadian ini.

“Satu yang harus Lo tahu. Ini bukan yang kita mau.” Ucap Ariel mengusap tangan Revan hangat. Revan menyambutnya dan menggenggamnya erat beberapa saat. Hal ini adalah apa yang paling ia butuhkan sekarang. Usapan hangat seorang sahabat. Sahabat yang baik dan bijak. Lalu Ariel pun melangkah ke depan Revan untuk mengambil perhatian teman-temannya. Dia berdiri di tengah-tengah seakan ingin menjadi pusat perhatian. Memang.

“Teman-teman! Maaf gw mau interupsi.” Ucapnya seakan berada dalam sebuah sidang.

“Gw mau coba lurusin apa aja yang udah kita semua bicarakan sejak tadi. Ok, itu kadonya Doni. Tanpa menuduh, kita anggap aja ini ulah Doni.”

“Gk bisa gitu dong, Riel!” teriak Sinta tidak terima.

“Lo Tenang Dulu! Gw Belum Selesai Bicara. Dengerin Gw, Dan Setelah Itu Baru Kalian Boleh Bicara.” Ariel membentak Sinta dan membungkam semua mulut di dalam sana. Kini Ariel dalam keadaan geram. Hatinya berkecamuk emosi, namun dia harus kembali tenang demi sahabatnya. Itu yang akan dia lakukan. Dia berniat menjelaskan semua kemungkinan berdasarkan apa yang teman-temannya katakan.

“Meskipun kita semua bilang Doni yang ngelakuin semua ini, kita gk ada bukti nyata. Semua tentang keseharian Doni itu tidak menjamin dia akan melakukan semua ini. Karena Revan, orang yang biasa kalian bilang kaku, dingin, tajam, dan kasar, juga memiliki hati yang hangat.” Ucapnya sambil menunjuk sahabatnya pada bagian akhir. Perlahan ketegangan mulai mencair. Bahkan dari wajah milik Ira yang mati-matian menyalahkan Doni juga mulai lunak.

“Dan jika pun Doni melakukannya, maka bisa kita simpulkan bahwa dia tidak bekerja sendirian.” Lanjut Ariel mengeluarkan isi kepalanya. Wajah teman-temannya kembali menegang. Sinta berkecamuk dari dalam, dia tidak siap mendengar apa yang akan Ariel katakan selanjutnya.

“Sinta, bukan hal yang aneh jika Sinta membantunya.” Lanjut Ariel perlahan. Sinta yang semula ingin angkat bicara membungkam ketika tangan Ariel membentuk isyarat satu jari telunjuk kepadanya. Dan dengan cepat kemudian Ariel kembali meneruskan.

“Tapi tidak bisa hanya dengan Sinta seorang saja.” Katanya kembali mengundang tanya dan rasa penasaran teman-temannya.

“Geri.”

“LOH..” Geri maju dengan cepat ingin memprotes Ariel, namun teman-temannya yang lain menghentikannya karena mengikuti isyarat lima jari dari Ariel.

“Jika kalian ingin menyalahkan Doni, maka kalian juga harus menyalahkan Geri. Karena kenapa? Geri lah yang membuka kesempatan Doni untuk menghancurkan semua kado ini.”

“Kok bisa gw?” tanya Geri dengan heran. Dia tak habis pikir. Padahal pada awalnya sudah jelas Ira menyebutkan itu. Maka Arielpun kembali memperterangnya.

“Jika Geri tidak meminta kita untuk menonton kembang api tadi, Doni tidak akan punya kesempatan untuk menghancurkan semua kado ini.” ucapnya melanjutkan. Semua temannya tercengang kecuali Revan yang memang memiliki pikiran yang sama dengannya.

“Tapii,,” Ariel berhenti. Tangan Revan menempel di bahunya. Memintanya berhenti.

“Tapi itu juga gk mungkin. Karena jika mereka bersekongkol, gk mungkin Geri memberitahu kita dengan jujur bahwa kado yang berisi teror tadi adalah kado dari Doni. Maka opsi Doni berkomplot atau Doni sendiri yang melakukannya bisa kita katakan tidak benar. Dan dari semua itu, yang tersisa ada dua kemungkinan. Pertama jika ada orang yang melakukannya dengan rencana, sudah pasti dia sudah bersekongkol dengan Geri agar Geri memberikannya waktu dengan menggunakan kembang api sebagai alasan. Yang kedua, orang yang melakukan semua ini hanya orang acak, sebut saja orang gila, yang masuk ke sini dan iseng menghancurkan semua ini.” ucap Revan panjang lebar namun jauh lebih cepat dari pengungkapan Ariel yang perlahan-lahan. Sejenak Revan menatap ke samping. Ke arah Ariel yang sedang menatapnya. Ariel yang dirangkulnya untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena sudah berada di sisinya di saat dia sedang dalam kesulitan. Dia merasa mendapat kekuatan darinya. Dan sekejap kemudian satu kalimat melesat.

“Lo terlalu lamban.” Ucapnya dengan senyum manisnya dan membuat sebuah senyuman ikut tegaris pada wajah Ariel. Masih sempat-sempatnya dia bercanda.

Teman-temannya yang lain mulai agak riuh memperbincangkan pemaparan kedua sahabat tersebut. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Apa memang mungkin pilihan kedua itu nyata? Iya, itu mungkin-mungkin saja. Tapi hey, orang gila masuk ke sebuah rumah dan melakukan semua ini? Tidak mungkin, kan?

“Tapi Van. Kalau pilihan kedua kayaknya gk cocok deh.” ucap seseorang di antara mereka. Tebak siapa! Seorang gadis penuh kejutan. Renata.

“Oh jadi Lo nuduh gw, Nat!” teriak Geri tak terima.

“Dengerin Dulu, Ger!” sahut teman-temannya yang lain masih mencoba menahannya.

“Bukan gitu, Ger. Masalahnya klo itu orang gila, darimana dia tahu namanya Revan dan gimana mungkin juga dia nyiapin kado terakhir itu.” Ucap Renata polos. Takut-takut temannya marah karena ucapannya salah, dia menggigit jarinya.

“Lo benar, Nat. Sebenarnya dari awal gw tahu. Tapi gw gk mau Geri jadi sasaran di sini. Gw yakin gk ada satupun dari kalian yang berniat ngelakuin ini sama gw.” ucap Revan membalas Renata dan membuat semua teman-temannya yang lain juga ikut senang dan tenang mendengarnya. Begitu pula dengan Geri, dia sempat padam, namun masih ada ketakutan dalam hatinya. Namanya belum seutuhnya bersih. Dia hanya mendapat kebaikan hati teman-temannya. Sementara Ariel, dia menatap Revan dengan begitu bangga dan haru. Seakan tubuhnya tak mampu menahan rasa kagumnya. Seakan tubuhnya tak mampu menahan keinginannya untuk menciuminya. Revan, kamu adalah segalanya bagi Ariel.

“Tapi Ger, ada satu hal yang harus Lo kasih tahu ke kita. Dan ini akan membantu kita semua menyelesaikan masalah ini. Nama Lo juga gak akan kebawa-bawa lagi. Gw harap Lo jawab dengan jujur. Siapa yang ngasih tahu Lo tentang kembang api itu?” Revan bertanya dengan serius. Geri mendapat semua perhatian orang. Termasuk Pria yang sedang berseringai di sana. Di depan sebuah TV yang menampilkan drama remaja SMA itu. Seorang pria yang berseringai sambil melipat jaket hitamnya.

“Lo gk bakal dapat jawabannya BEGO!” sahut pria itu dan tertawa dengan keras. Dia begitu gembira melihat semua yang ditampilkan layar televisi di hadapannya. Sementara orang-orang yang ada di dalam sana masih berada dalam selimut kabut ketegangan. Tak ada yang menyadari bahwa mereka sedang direkam oleh sebuah kamera tersembunyi dari balik bunga hias di rumah itu.

Dan Geri menjawab.

“Kalian gk kenal siapa dia. Dan maaf, gw gk bisa jawab pertanyaan ini.” ucapnya langsung melarikan diri ke kamarnya.

“Ger!” Teriak beberapa orang bersamaan memanggil dan mencoba mengejar Geri. Sayangnya Geri sudah terlanjur masuk dan mengunci kamarnya dari dalam. Teman-temannya nampak kecewa dan kesal bercampur pasrah. Namun tidak ada kata pasrah bagi beberapa orang.

“Ger, keluar..” Ira tertahan dari teriakannya. Revan dan Renata menghentikannya bersamaan. Renata berdiri di hadapannya sambil menggeleng dan membuka tangannya seperti mencegah Ira untuk maju. Sementara Revan memegang bahunya sambil menggeleng tanpa melihat wajahnya.

Teman-teman yang lain yang melihatnya juga mendapat pemahaman yang sama bahwa saat ini mereka tidak boleh menggunakan kekerasan. Tidak boleh terlalu menyudutkan Geri karena dia adalah tipe orang yang sulit bergaul. Jika ia ditekan sebanyak ini, dia pasti tidak akan pernah berani lagi bertemu dengan mereka. Tapi memang, mau tidak mau mereka harus mendapatkan jawabannya. Ini adalah sanksi untuknya jika memang dia telah bersekongkol dengan seseorang di luar sana. Tapi jika dia tidak bersekongkol dengan siapapun? Itu tidak mungkin. Jika tidak, tidak akan terjadi hal-hal seperti ini.

Tok.. Tok.. Tok..

“Ger?” panggil seseorang di tengah ketegangan dan kesunyian itu. Orang yang ada di dalam sana tak menjawab sama sekali. Tak ada suara yang jelas terdengar dari dalam sana. Hanya sedikit rintihan yang terdengar seperti isakan.

“Ger, kita percaya sama Lo. Seenggaknya, gw sama Revan percaya sama Lo.” Bujuk Ariel dengan suara yang perlahan dan lembut. Sudah menjadi kebiasaan dan kelebihannya melakukan itu.

“Ger, Lo denger gw, kan?” ucapnya memastikan orang yang dia panggil mendengarkannya.

“Lo emang jarang ngomong, Ger. Bagi kita Lo itu misteri. Bagi kita Lo itu aneh. Tapi gw sejak dulu gk pernah nganggap Lo begitu. Teman-teman yang lain sekarang udah gk ada yang nganggap Lo aneh lagi. Karena Lo udah berhasil membuktikan diri Lo. Karena Lo udah berhasil ngasih tahu kita bahwa Lo ada di sini, bareng kita, sebagai teman kita. Kalau Lo beneran bersekongkol sama orang lain demi semua ini, Lo gk mungkin sekesal tadi. Lo gk mungkin seterpukul tadi.” Ucapnya memberi alasan. Namun orang yang dipanggil tak jua menjawab sepatah katapun.

“Ger! Gw gk marah sama Lo. Mau Lo terlibat atau gk terlibat, gw gk marah. Gw bakal nganggep ini sebagai kejutan tambahan aja. Tapi satu. Katakan siapa yang ada di balik semua ini.” kini, Revan lah yang mengambil alih membujuknya.

Dan dari dalam sana terdengar suara yang tidak begitu jelas membuat mereka yang berdiri di luar sana menambahkan fokus mereka. Suara itu, suara langkah seseorang. Kemudian suara rasak-rusuk ranjang mulai terdengar. Teman-temannya berpikir bahwa Geri sedang melampiaskan emosinya dengan mengahamburkan apa saja di depannya. Seiring dengan itu suara benda-benda lain yang terjatuh juga ikut terdengar. Suara pekikan Geri juga sedikit sampai ke telinga mereka. Ketidak tahuan atas apa yang terjadi di dalam sana membuat mereka yang ada di luar menjadi khawatir.

“Ger! Jawab kita, Ger! Buka pintunya, Ger!” Revan mencoba mendapat perhatian Geri. Namun tak ada jawaban dari yang punya nama.

“Geri! Jangan gitu, Ger! Tolong jangan nyakitin diri sendiri!” ucap Ariel ikut membujuk Geri membuat teman-temannya yang lain bersambungan menyahut hal yang sama. Dan nampaknya hal itu berhasil. Tak ada lagi suara benda jatuh ataupun pekikan dari dalam sana. Sejenak mereka tersenyum senang karena merasa bahwa Geri sudah tenang.

“Ger, klo Lo mau, kita bisa pulang sekarang. Lo bisa jawab pertanyaan kita di lain waktu. Kita akan menunggu jawaban dari Lo. Tapi kita gk akan maksa.” Ariel mencoba mengambil masukan. Dia menunggu-nunggu jawaban dari Geri. Tak mendapati suara apapun, dia kembali memperjelasnya.

“Tapi sebelum itu Lo harus bersuara dulu, Ger! Lo harus jawab kita dulu.” Ucapnya ingin memastikan bahwa Geri mendengarkannya. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Bahkan suara isakan pun tak ada seberkas pun yang terdengar. Itu mulai mengkhawatirkan. Apa yang sebenarnya terjadi. Teman-temannya takut bahwa Geri melakukan hal-hal yang membahayakan.

“Ger! Jawab Ger!”

“Ger, ayo keluar, Ger!” teman-temannya ikut menyahut tak tenang. Ada yang mencoba membujuk, ada pula yang memancing dengan emosi demi satu hal. Suara. Tapi itu sama sekali tak berhasil.

“Apa kita dobrak aja pintunya?” ucap salah seorang dari mereka memberi usulan sekaligus memancing yang punya kamar menanggapi. Tapi tidak ada jawaban.

“Yang cowok bantuin gw dobrak pintunya. Yang cewek sebagian nyari bantuan satpam. Sebagian lagi ke luar. Lihat dari luar jendelanya. Kali aja ada yang bisa dilihat.” Sahut Revan memberi komando. Ariel mengikuti komandonya dan berlari menuju ke luar rumah. Beberapa orang gadis termasuk Renata dan Ira mencari bantuan Satpam kompleks. Sebab rumah ini tidak ada satpamnya. Kalau ada, sudah dari tadi mereka memanggilnya.

Pintu masih didobrak oleh dua tiga orang laki-laki yang serempak mengeluarkan tenaganya besar-besaran. Ketakutan dan kekhawatiran mereka pada kenekatan Geri menjadikan mereka tidak takut pada hal lainnya. Sementara di luar sana, Ariel dan teman-temannya yang lain dikejutkan oleh suatu hal.

“Satu orang tolong kasih tahu Revan dan yang lain dong.” sahut Ariel yang diikuti oleh dua tiga orang temannya yang berlari kencang ke dalam rumah itu.

“Guys, tolong dong pegangin!” pintanya sambil membuka Jendela yang terbuka itu. Beberapa orang dari temannya membantunya memegangkan jendela itu agar terbuka lebih lebar dan dia mulai berusaha meloncat masuk melalu jendela itu. Agak sulit karena ketinggian jendela itu memang ada setinggi alisnya. Dia bukan orang atletis seperti Revan dan yang lain. Dengan terpaksa dia menyerah dan meminta cowok yang lainnya mencobanya juga, tapi tidak bisa.

Segera dia mencari akal. Matanya menyapu sekeliling tempatnya berdiri. Beberapa tanaman pot yang tertata meramaikan pemandangan halaman itu. Sebuah pohon Mangga di dekat mereka menjadikan sekeliling sini menjadi gelap. Rumput-rumput nampak tumbuh cukup tinggi, sekitar sepuluh sampai limabelas senti. Sapu lidi yang diletakkan di dekat tong sampah kosong beserta sekopnya. Tong sampah itu terbuat dari kayu. Itu dia. Ucap hatinya.

Ketika Revan dan kawan-kawannya sudah datang, Ariel sudah berhasil masuk melalui jendela itu. Dia membalik tong sampah yang tingginya sekitar lima puluh senti itu dan menggunakannya untuk memasuki jendela itu. Teman-teman yang lainnya pun ikut menaiki tong sampah itu dan memasuki jendela itu. Namun sayangnya, sebelum mereka semua ikut naik, Ariel sudah berteriak lebih dulu.

“Van, Geri gk ada di sini.” Dia dengan cepat berlari mencari tombol lampu karena memang sejak tadi ruangan itu gelap gulita tanpa cahaya selain cahaya flash dari ponsel miliknya. Dengan cepat dia ke pintu dan melihat apakah pintu itu sudah terbuka atau belum. Dan jawabannya pintu itu masih terkunci dari dalam. Dengan cepat dia membukanya mencaritahu apa ada orang lain di luar kamar itu dan tidak ada seorangpun di sana.

Ariel kembali mengamati seisi ruangan itu. Dia mencoba berpikir keras hingga Revan datang menenangkannya.

“Lihat itu, Van!” ucap Ariel menunjukkan semua barang yang berserakan di sana. Dan ada satu lagi. Sebuah tulisan berwarna merah di sana, di cermin panjang milik Geri.

“JANGAN MENCARIKU!!!” itu yang tertulis di sana.

“Van?” Ariel meragu. Dia agak ketakutan. Tidak, dia lebih banyak khawatirnya. Revan menggenggam tangannya erat untuk saling menguatkan. Dia juga bukan Hero yang tak memiliki rasa takut. Tapi mereka harus melanjutkannya.

Kembali mereka mengamati ruangan itu. Dan nampak noda tanah yang sedikit basah di sana membentuk jejak sepatu. Geri tidak memakai sepatu. Itu yang mereka pikirkan. Ariel dan Revan bertatapan mendapatkan petunjuk itu. Segera Ariel mengeliuarkan ponselnya untuk menangkap gambar itu.

“Ah, pake Lowbat lagi.” Rintihnya agak kecewa. Wajahnya cemas. Namun,

Ckrek.. Sebuah sinar menggurat tajam ke arah lantai yang dikotori noda sepatu itu. Itu dari ponsel Revan. Dia juga punya ponsel dan Ariel seakan tak menyadarinya. Beberapa kali Revan memotret mengikuti alur jejak sepatu yang bukan milik mereka itu. Jejak sepatu Boot (anggap aja). Dan Jejak itu berawal dan berakhir dengan jelas pada Jendela itu.

“Apa ini artinya Geri diculik?” ucap Ariel cemas. Dia takut dan terkejut. Dadanya berdebar kencang membuat darahnya terkumpul membuat pusing kepalanya. Hal yang sama dirasakan oleh teman-teman lainnya yang mendengar pertanyaannya.

“Orang itu pasti dibantu orang lain. Gk mungkin dia nyeret Geri sendirian.” Ucap Revan dan memotret hal terakhir yang menjadi petunjuk mereka. Tulisan pada cermin dan seluruh bagian jendela.

Setelah itu, mereka terpaksa menghentikan penyelidikannya sejenak. Dua orang satpam yang dicari oleh Ira dan teman-teman yang lain sudah datang. Mereka meminta keterangan dari teman-temannya. Ariel dan Revan pun ikut membantu menjelaskan semuanya. Tak lama salah seorang dari satpam itu menekan-nekan tombol ponsel di tangannya. Mereka mulai sibuk sendiri, maka ini adalah saatnya Ariel dan Revan melanjutkan penyelidikannya.

Ariel menarik lengan seragam Revan memintanya ikut dengannya. Sekarang mereka sedang berdiri di luar jendela kamar Geri. Sementara Satpam dan beberapa orang temannya tadi sedang berdiri beberapa meter di sekitar mereka.

Ariel menunjuk sesuatu. Sebuah noda bekas sepatu di dinding di bawah jendela. Itu menunjukkan bahwa penculiknya tidak menggunakan alat bantu untuk memanjat dinding itu. Dan itu berarti, selain atletis, orang itu juga tinggi. Ariel memiliki tinggi sekitar 173 senti dan dia tidak mampu memanjat dinding itu. Revan lebih tinggi, sekitar 180 senti dan dia juga tidak mampu memanjat dinding itu. Itu berarti orang-orang yang menculik Geri memiliki tinggi setidaknya 190 ke atas dan jauh lebih atletis dari mereka. Dan tebak apa yang Ariel pikirkan.

“Jejak sepatunya sama loh, Van.” Ucap Ariel membuat Revan ikut menatap sepatu milik kedua satpam itu. Postur mereka juga cocok dengan yang mereka pikirkan. Tinggi minimal 190 senti dan tubuh yang atletis. Tapi, ah, dimana mereka akan meletakkan Geri? Ini terlalu ngaco. Mereka terlalu berlebihan. Mereka harus tenang. Tidak boleh asal curiga.

“Gk mungkin yah.” Ucap Ariel sekali lagi. Wajahnya agak kecewa tapi dibalutnya dengan senyum cengirnya. Revan mengusap kepalanya memberi tanda ia paham. Tapi Ariel, dia kembali mengingatnya. Perasaannya.

“Ah, sekarang bukan waktu untuk itu.” Gumamnya menghembus nafasnya agak keras. Revan mendengarnya. Sedikit.

“Lu ngomong apa?” tanyanya membuat Ariel terkejut. Ariel pikir dia tidak mengeluarkan suara apapun. Tapi dengan cepat Ariel mengalihkannya.

“Gk apa-apa kok. Gw cuma..” Ariel berhenti sejenak. Dia memutar bola matanya cepat.

“Bantuin gw, gw mau nyuri sesuatu.” Ucap Ariel serius. Dia menatap Revan dengan penuh harap. Sementara Revan menatapnya bingung dan Heran. Apa yang ingin dia curi? Kenapa mengatakan ingin mencuri? Ariel, ada apa denganmu? Kenapa ingin mencuri? Tidak mungkin.

~To Be Continued...~

Ahhh.. biasa aja kale nanyanya. Ariel mau nyuri? Kenapa? Ada apa dengannya? Lebay ah.. biasa aja,. Toh Cuma nyuri. :V

Hy Guys.. Selanjutnya kita akan mencari tahu Apa yang sebenarnya terjadi. Siapa yang menculik Geri. Dan bagaimana kisah ini akan berlanjut? Ditunggu komennya yah bagi yang sudah tahu. Heheheh :V

Episode Selanjutnya Klik Di Sini Say :*

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8