Love Season Part 7

Love Season Episode 7

Revan menatap sepatu milik kedua satpam itu. Jejak yang tertinggal di dalam kamar Geri persis seperti jejak pada sepatu mereka. Postur mereka juga cocok dengan yang Ariel dan Revan pikirkan. Tinggi minimal 190 senti dan tubuh yang atletis. Tapi, ah, banyak orang dengan sepatu dan postur yang sama di luar sana. Lagipula, jika mereka barusaja menculik Geri, di mana mereka akan meletakkan Geri? Ini terlalu ngaco. Mereka terlalu berlebihan. Mereka harus tenang. Tidak boleh asal curiga.

“Gk mungkin yah.” Ucap Ariel sekali lagi sambil menyengir menyembunyikan kecewanya. Revan mengusap kepalanya memberi tanda ia paham. Tapi Ariel, dia kembali mengingatnya. Perasaannya.

“Ah, sekarang bukan waktu untuk itu.” Gumamnya menghembus nafasnya agak keras.

“Lu ngomong apa?” Revan bertanya membuat Ariel terkejut. Ariel pikir dia tidak mengeluarkan suara apapun. Tapi dengan cepat Ariel mengalihkannya.

“Gk apa-apa kok. Gw cuma..” Ariel berhenti sejenak. Dia memutar bola matanya cepat.

“Bantuin gw, gw mau nyuri sesuatu.” Ucap Ariel serius. Dia menatap Revan dengan penuh harap.

Sesaat kemudian Ariel dengan cepat memasuki kamar Geri melalui jendelanya. Revan mengikutinya setelah memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan mereka. Setelah di dalam, dia melihat Ariel sedang mencoba mencari-cari sesuatu di balik barang-barang milik Geri. Dia hanya melihat aksi Ariel tanpa bisa membantunya karena dia tidak tahu apa yang Ariel cari. Tapi itu tidak menghentikannya, dia kembali mencoba membantu sebisanya. Dia membuka beberapa laci dan mengeluarkan isinya. Ariel beralih menatap apa yang dia lakukan. Matanya ikut menyusuri barang-barang yang Revan keluarkan dari laci itu. Revan juga dengan gesit menunjukkannya satu per satu mencari yang mana yang Ariel inginkan. Sayangnya tidak ada dari semua itu yang Ariel cari. Dia selalu menggeleng melihat barang-barang yang Revan keluarkan. Tersisa satu laci.

“Dikunci.” Ucap Revan setelah mencoba membuka laci tersebut. Ariel menyeringai.

“Pasti ada di sini. Dia pasti nyimpan diarinya di sini.” Ucap Ariel yakin. Revan memandanginya dengan kagum. Dia tahu kenapa Ariel mencari diari milik Geri.

“Tunggu bentar. Klo kuncinya gk sama dia, paling ada di laci yang lain juga.” Ucap Revan menghamburkan kembali barang-barang yang sudah dia keluarkan tadi dan akhirnya mereka menemukan beberapa kunci yang tergantung berpisah. Hanya satu kumpulan kunci yang nampak cocok dengan laci-laci itu. Dan satu per satu mereka mencoba kunci-kunci itu hingga akhirnya ada satu kunci yang bisa membukanya.

Ck.. Bunyi kunci itu pelan ketika tangan Revan memutarnya. Ariel menatap Revan dengan gembira. Begitu pula dengan Revan. Mereka saling menatap dengan wajah senang seperti orang yang barusaja menemukan harta karun.

“Van, Riel!” seseorang menyahut saat Revan dan Ariel turun dari Jendela kamar Geri. Itu Renata.

Ira dan teman-temannya serta beberapa orang polisi ikut menatap ke arah mereka. Ariel dan Revan mulai gugup, takut mereka akan ditanya habis melakukan apa. Tapi cepat-cepat mereka menepis pikiran itu dan bertindak biasa agar tidak dicurigai.

“Kalian abis darimana aja?” ucap Renata menyambut mereka. Ariel bingung ingin menjawab apa. namun sebelum dia sempat menjawab, Renata lebih dulu melanjutkan.

“Eh, ini ada Pak Polisi yang mau minta keterangan kalian.” Ucapnya cepat diikuti anggukan Ira yang meminta mereka langsung menghadap para polisi itu. Belum sempat mereka buka mulut, suara mobil ikut terdengar. Mereka datang ke arah rumah Geri membuat semua mata tertuju kepada mereka. Ternyata itu orangtuanya Geri yang langsung kemari setelah dihubungi oleh para Satpam tadi.

“Tante.” Ucap beberapa orang gadis kepada ibunya Geri. Nampak wajah beliau begitu cemas.

“Geri mana?” ucapnya linglung. Para gadis yang ada di hadapannya pun hanya bisa diam. Cepat-cepat ibu itu melangkah menuju bapak-bapak Polisi bersama suaminya.

“Pak, anak saya di mana, Pak?” tagih wanita yang mulai terisak itu. Sementara suaminya hanya bisa mengusap-usap bahunya untuk menenangkannya.

“Tim bantuan sedang dalam perjalanan menuju kemari Bu. Kami berdua sedang berada di dekat sini jadi kami datang terlebih dahulu. Untuk saat ini kami masih meminta keterangan dari teman-temannya.” Ucap salah seorang dari dua Polisi muda itu. Yang satunya bernama Sudirman dan yang satunya M. Amiruddin.

Mendengar ucapan polisi itu, orangtua Geri langsung mengalihkan pandangan mereka kepada Ariel dan teman-temannya. Mereka mencoba menebak siapa yang akan memberi kesaksian dari teman-teman anaknya tersebut. Namun tidak lama, Ariel angkat bicara.

“Ini salah kami Tante.” Ucapnya mengawali keterangan itu. Orang yang dipanggil tante pun hampir tak tahan untuk meluapkan amarahnya, namun cepat-cepat dia sadar bahwa itu tidak mungkin. Tidak boleh asal menyalahkan teman-teman anaknya. Dia belum mendengarkan ceritanya sama sekali.

Sementara kedua Polisi dan kedua Satpam yang mendengarnya mulai ikut menyimak.

“Awalnya kami semua mempersiapkan acara kejutan untuk teman kami yang berulang tahun. Namanya Revan, ini orangnya.” Lanjut Ariel sambil merangkul Revan. Revan pun berjongkok ringan untuk memberi salam hormat.

“Sayangnya pada tengah acara, tepatnya setelah Geri meminta kami ke halaman belakang untuk menonton pesta kembang api bersama-sama, acara kejutan kami mendapat teror.” Ariel menghela nafasnya sejenak. Mata para Polisi, Satpam dan kedua orangtuanya Geri menatap serius menunggu kata-katanya.

“Semua kado yang kami siapkan untuk Revan dihancurkan selama kami menonton pesta kembang Api tersebut. Sisanya masih ada di dalam sana. Semuanya berantakan dan itu membuat kami semua takut.” Ucap Ariel kembali tertahan. Agak ragu untuk melanjutkannya secara jujur karena itu kemungkinan akan membuat orangtuanya Geri sakit hati kepada mereka. Tapi tidak ada waktu untuk berpikir demikian.

“Karena terlalu takut dan tegang, pikiran kami semua menjadi kacau. Kami saling menyalahkan dan menuduh satu sama lain. Namun pada akhirnya, Gerilah yang terpojok. Sungguh, bukan maksud kami ingin memojokkannya, tapi..”

“Kenapa bisa begitu? Kenapa kalian memojokkan Geri?” tanya ayahnya mewakili apa yang ikut dipikirkan istrinya yang sudah terisak dalam diamnya itu. Ariel kembali menarik dalam nafasnya untuk lebih kuat menjelaskan.

“Itu karena.. Jika Geri tidak meminta kami keluar, pelakunya tidak akan punya waktu untuk melakukan itu. Dia tidak akan bisa menghancurkan kado itu. Jika dilakukan penyelidikan, kami yakin bahwa teror tadi sudah direncanakan.” Ucap Ariel dengan cepat sambil memandang meminta orang-orang itu percaya pada ucapannya.

“Jadi kalian menuduh anak saya yang sudah merencanakan itu pada kalian?” teriak ayahnya kesal. Namun cepat pak Polisi memintanya tenang.

“Kalian tidak tahu, anak saya itu sangat bersemangat mempersiapakan acara kejutan untuk kalian.” Ucapnya kembali ikut terisak bersama istrinya. Sepertinya beliau tipe ayah yang penyayang kepada Geri. Tapi itu tidak mengubah apapun. Semuanya telah terjadi.

“Kami tahu, Pak. Kami juga tidak pernah mencoba menganggap bahwa dia yang melakukan ini kepada kami. Namun kami tidak akan mendapat jawaban jika kami tidak menanyakannya. Kami hanya menanyakan siapa yang telah memberitahunya tentang pesta kembang api tadi. Itu saja. Tapi Geri sepertinya tidak bisa menjawab itu.” Ariel kembali melanjutkan keterangannya.

“Lalu?” sahut salah seorang Polisi lainnya.

“Setelah itu Geri berlari ke dalam kamarnya. Kami mencoba membujuknya namun dia tidak menjawab sampai kami mendengar suara rasak-rusuk tidak jelas dan kami mencoba mendobrak pintunya. Namun akhirnya kami menemukan bahwa jendelanya terbuka. Kami pikir dia kabur, tapi di dalam sana ada jejak sepatu seperti yang bapak Polisi dan pak Satpam pakai.” Ucap Ariel mengungkit apa yang pernah ia pikirkan. Para Polisi dan Satpam yang berdiri di hadapannya spontan menatap sepatunya masing-masing.

“Di dalam sana juga ada tulisan dengan darah, katanya JANGAN MENCARIKU. Tapi kami tidak percaya itu tulisan Geri.”

“Kenapa kalian tidak percaya?” ucap salah seorang dari Satpam tadi. Dia nampaknya agak heran dan penasaran kepada alasan kami. Dan kalau boleh curiga, wajahnya juga mengguratkan segurat kekecewaan. Entah kenapa.

“Pertama, tulisannya di cermin berbeda jauh dengan cara Geri menulis. Akhir-akhir ini Geri sering menulis di papan, jadi kami sudah paham bagaimana caranya menulis. Kedua, pada bagian jendela tempat dia seharusnya keluar, tidak ada seberkaspun noda darah. Jika memang dia kabur sendiri dengan tangannya atau jarinya yang berdarah, harusnya ada bagian-bagian di jendela yang juga terkena darah karena dia pasti menyentuh jendela itu untuk bisa turun.” Ariel menjawab semuanya. Dia melengkapi keterangannya dan membuat polisi yakin bahwa ini memang sebuah penculikan. Orangtua Geri yang awalnya tersulut emosi, kini juga berangsur tenang. Namun tetap saja, cemas dan isaknya semakin menjadi.

Kini tersisa satu pertanyaan. Kira-kira siapa yang mungkin menculiknya? Tentu, menurut Ariel dan Revan orang itu adalah orang yang melakukan teror itu kepada mereka. Orang yang tidak ingin diketahui rahasianya. Orang yang kemungkinan punya hubungan intim dengan Geri. Siapa dia dan mengapa melakukan ini? Itulah yang ingin mereka cari. Tapi,, dengan satu syarat. Hanya mereka berdua yang akan mencarinya. Kenapa hanya mereka berdua? Karena ini demi Geri.

Waktu berlalu. Orangtua Geri masih terisak. Para tetangga sudah banyak yang berdatangan ke rumah Geri. Polisi yang akan membantu mencari juga sudah sampai. Mereka bahkan melakukan pekerjaan yang sama dengan yang sudah dilakukan oleh Ariel dan Revan sebelumnya. Mengambil gambar. Namun tentunya mereka jauh lebih profesional dari Ariel dan Revan.

Sementara itu, sebagian dari teman-temannya sudah banyak yang pulang ke rumah masing-masing. Kecuali Ira dan Renata yang masih setia mengikuti penyelidikan polisi bersama Ariel dan Revan.

“Ra, Nat! Kalian belum pulang?” sahut Ariel melihat mereka berdua duduk dengan lemas di teras depan rumah Geri.

“Belom.” Jawab Renata lemas. Ira sudah tak bertenaga untuk menjawab. Di depannya ada Revan yang juga lemas namun mencoba tetap tenang.

“Mau gw ambilin minum, gk?” lanjut Ariel menawarkan. Sementara di belakangnya Revan menatap sayu bagai anak kecil yang hanya bisa mengekornya.

“Boleh. Tolong yah. Sama Ira juga.” Ucap Renata mengangguk. Ira juga ikut mengangguk ringan mengiyakan kata-kata Renata.

Ariel dan Revanpun segera masuk ke dalam rumah dan mengambil empat gelas minuman. Dua di tangan Revan, dua di tangan Ariel. Sampai di luar, Ariel memberikan minuman di tangannya kepada Renata, sementara Revan menyodorkan minuman di tangannya kepada gadis yang tadi dia tolak cintanya. Ira. Bayangkan betapa sakit hatinya sekarang menyadari minuman itu mewakili rasa persahabatan saja. Sesuatu yang tak lebih dan tak akan mampu setara untuk disebut cinta.

“Oh iya, gw mau nanya sesuatu nih.” Ucap Ariel membuyarkan pikiran Ira. Renata menyahut cepat setelah meneguk minumannya sedikit.

“Tadi waktu kalian ketemu sama kedua satpam itu di mana? Kalian gk ngeliat yang aneh-aneh yah sama mereka?” ucap Ariel penasaran. Revan terkejut. Ariel masih penasaran dengan hal itu. Ariel masih menganggap kedua orang itu terlibat. Tapi apalah daya, biarlah Ariel meneruskan rasa keingintahuannya.

“Keanehan?” ucap Ira bingung. Dia sedikit berpikir. Tidak, dia berpikir keras.

“Kyaknya gk ada deh. Emang kenapa Lo nanyain itu?” sambungnya masih dengan ekspresi bingung dan heran yang sama. Sementara gadis lainnya yaitu Renata masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Gk juga sih. Gw cuma agak curiga aja sama mereka.” Ucap Ariel menjelaskan. Dia agak kecewa karena tidak ada info yang bisa menguatkannya. Tapi salah satu dari gadis itu masih terdiam. Dia mencoba mengingatnya kembali dan menyusunnya agar bisa dia ceritakan kembali kepada temannya.

“Tadi,,” katanya perlahan membuat teman-temannya yang lain beralih fokus kepadanya.

“Tadi kita ketemu sama mereka di pos satpam. Waktu pertama gw ngeliat mereka, klo gk salah yang satunya masih ngerapiin sabuk dan celananya. Sementara yang satunya,, dia lupa ngancingin bajunya.” Ucap Renata masih mencoba mengingat dengan keras.

Apakah ini benar? Apa mungkin mereka berdualah yang melakukannya? Apa mungkin salah satu dari mereka adalah orang yang memberitahu Geri tentang kembang api itu? Apa mungkin merekalah yang menculik Geri sekarang? Tapi kenapa? Apa motifnya? Kenapa juga mereka melakukan teror itu kepada Revan? Mereka bahkan mungkin tidak kenal nama Revan. Lagi pula, Ariel seperti tidak mengenal mereka. Maksudnya, Ariel merasa tidak pernah mengenal mereka. Jadi, tidak mungkin kan mereka melakukan ini dengan acak. Apa mereka bersekongkol dengan Geri. Ah tidak! Jangan berpikir seperti itu. Geri tidak mungkin melakukannya. Dia terlalu lembut untuk melakukannya.

Ariel bingung. Dia pusing sendiri memikirkan isi pikirannya sendiri. Sementara teman-teman di hadapannya juga ikut pusing memikirkan apa yang sedang ia pikirkan. Mereka mungkin tahu bagaimana kasarnya. Bahwa Ariel mencurigai kedua Satpam itu, tapi detail kenapa dia mencurigai kedua orang itu, mereka tidak tahu.

“Van, pulang yuk!” ucap Ariel tiba-tiba. Revan yang lelah menebak-nebak arah pikirnya akhirnya menyetujuinya. Baru kali ini dia tidak bisa menangkap apa yang sahabat baiknya itu pikirkan.

“Kalian juga pulang yuk!” ucap Ariel sekalian meminta teman-temannya pulang.

Merekapun pulang setelah berpamitan kepada kedua orangtua Geri. Ariel pulang berdua dengan Revan, Renata bersama Ira. Mereka berpisah di persimpangan jalan. Kini tersisa Ariel dan Revan berdua di jalan raya itu. Bersama kesunyian malam dan motor yang melaju pelan. Lambat-lambat angin bertiup menusuk tulang Ariel memaksanya mengatakan sesuatu. Sesuatu yang tak pernah berani ia katakan selama ini. Yang tidak pernah berani di dengar oleh orang di depan sana. Bukan.. Bukan kata cinta.

“Van. Gw capek. Gw juga kedinginan.” Hanya sampai di situ. Dia tidak berani mengatakan selebihnya lagi.

Ariel memeluk Revan tanpa bertanya. Dia memeluknya dengan erat. Sangat erat. Menempelkan dadanya ke punggung Revan yang kokoh. Seakan dia ingin tertidur di atas sana. Sambil memeluknya. Mencari kehangatan dan kebahagiaan yang bisa membuatnya tenang. Dia lelah. Dan kedinginan. Dia juga terkantuk. Dan butuh sandaran.

Revan menatap lurus ke depan. Tangannya melonggarkan pegangannya pada setir motor besar itu. Membiarkannya melaju dengan pelan. Biarkan pelan. Agar mereka terbiasa. Agar mereka terbiasa dan bisa menikmati segalanya bersama malam ini. Kehangatan ini, rasa lelah ini, mereka ingin menghabiskan malam ini bersama. Bersama hingga esok.

“Tidur bareng gw, Van. Gw gk mau sendirian.” Ucap Ariel agak menggumam di punggung Revan.

Bisa disebut Ariel sama sekali tak mengangkat kepalanya saat bicara. Dia menempelkan pipi kirinya ke punggung Revan setelah bosan menempelkan pipi kanannya. Kemudian mengatakan kata-kata itu. Sebuah permintaan yang hampir mutlak akan dipenuhi oleh sang empunya nama. Dia mengucapkannya sambil menempelkan pipi kirinya seakan tak ingin dan tak rela lebih jauh lagi dari Revan. Bahkan meskipun dianggap sedang menciumi punggung Revan, dia akan terima. Dia akan menerima semuanya malam ini. Setidaknya itulah yang dia rasakan.

Revanpun kembali melajukan motornya dengan cepat agar cepat sampai ke rumah Ariel. Bukan karena apa, dia khawatir saja, kalau-kalau orang yang memintanya akan kembali sadar dan menarik kembali permintaannya. Dia tidak rela meninggalkannya lagi. Dia harus jadi tidur di rumahnya Ariel malam ini. Ya, harus.

Brmm.... Suara motor mengaum di luar rumah Ariel sejenak sebelum dia mematikannya. Ariel turun. Dia memandangi wajah Revan dengan sayu dan senyum.

“Ayo masuk!” ucapnya membuat sebuah hati merasa begitu bahagia.

Dia membukakan pintu untuk Revan. Membiarkannya masuk memarkirkan motornya di garasinya. Nampaknya seorang satpam masih setia menjagai rumah itu dengan wajah segarnya. Ya, memang dia sekarang sudah punya satpam yang menjaga rumahnya selama 24 jam. Dibagi dua shift, namun ada lebih dari tiga orang satpam yang bekerja untuk rumahnya. Dan yang sekarang menjaga adalah salah satu yang cukup handal. Ariel tersenyum menyapanya. Tidak seperti tadi saat dia pulang dari jalan-jalan bersama Revan. Dia sama sekali tak menghiraukannya membuat satpam itu sempat merasa khawatir. Namun kini, senyum itu saja sudah cukup membuatnya tenang.

Revan di depan sana sudah turun dari motornya. Dia mengeluarkan sesuatu dari Jok motornya. Sebuah buku yang sampulnya terbuat dari kulit. Buku yang diikat dengan pita berwarna coklat manis yang menambah kesan vintage-nya. Buku yang tadi mereka ambil dari laci kamar Geri. Buku yang diyakininya mampu menjawab banyak pertanyaan di balik kejadian-kejadian yang terjadi hari ini.

Ariel melangkah dengan senyuman memandu Revan menuju kamarnya. Langkahnya agak lemas namun sesekali dia menghentakkan kakinya kuat-kuat. Sesekali matanya mencoba menatap Revan sambil tersenyum hangat. Revan menyambutnya dengan senyuman yang sama. Berharap senyuman mereka dapat melebur menjadi satu membentuk ikatan yang menggantikan tulang mereka agar lebih kuat. Senyuman penguat.

“Van, Lo pake baju gw gk apa-apa, kan?” ucap Ariel sambil mencari beberapa lembar pakaiannya yang mungkin cocok untuk Revan. Mereka sudah di dalam kamar Ariel sekarang.

Entah dari mana keberanian itu datang, Revan melangkah ke depan, ke arah Ariel. Dia memeluk Ariel membuat Ariel merasa berbeda. Merasa aneh. Namun pasrah. Ya, Ariel kini memilih pasrah atas semua yang terjadi di antara mereka. Biarlah itu terjadi. Dan Revan mendekatkan wajahnya ke pundak Ariel. Dia menempelkan dagunya di sana.

“Gw juga capek. Gw kedinginan.” Ucap Revan manja dalam gumamnya. Jujur, Ariel sangat ingin tertawa sekarang ini. Suara manja itu milik Revan. Itu milik Revan. Cowok yang selama ini hanya bisa membentaknya dengan kasar, kini sedang merajuk manja sambil memeluknya dari belakang. Tapi dia hanya tersenyum. Ariel hanya terkekeh ringan sambil mengatakan apa yang dia pikirkan.

“Van, selain AC, kamar gw juga ada penghangatnya. Itu udah gw nyalain.” Ucapnya membuat Revan tersipu malu. Namun tangan Revan tak bergerak sedikitpun dari tubuhnya. Dia masih kekeuh memeluk tubuh di depannya itu.

“Badan gw gk mau dilepas nih ceritanya?” sahut Ariel menggoda.

“Riel! Apa gw salah?” Revan masih dengan nada manjanya. Namun, semua itu terdengar serius. Tebak apa yang terjadi!

Tangan Ariel di sana. Di dekat pundaknya. Lebih tepatnya, menempel di wajah Revan. Dia membelai wajah itu dari depan. Revan yang semula lemas berubah tegang. Dia terkejut mendapat perlakuan itu. Sebuah sentuhan. Yang hangat dan lembut.

“Apa gw salah?” itu yang pemilik tangan itu ucapkan. Di menyentuh wajah itu dengan lembut dan membalik tubuhnya.

Dan di sana ada Revan dan Ariel. Dua pemuda yang saling menatap dalam sayu. Dalam kekalutan. Dengan perasaan yang mulai berkecamuk menjalarkan rasa hangat yang menggelitik ke seluruh tubuhnya. Dua pria yang saling beradu hati. Saling bersuara lewat hati. Saling berkata dan meluapkan betapa sulitnya perasaan itu ditahan. Saling melepaskan belenggu yang mengikat mereka masing-masing. Seakan berkata, “Ya, aku memang mencintaimu.” Proses yang membuat keduanya saling yakin, terhadap apa yang mereka rasakan masing-masing.

Dan. Cup.. sebuah ciuman melesat. Dan sebuah pelukan mengikutinya. Itu semua dari Ariel. Dia mencium lelaki tampannya dengan cepat dan dalam mengeluarkan semua perasaannya yang tersimpan selama ini hanya dalam seper sekian detik. Puas melesatkan satu kecupan tajam itu, dia beralih memeluk Revan meminta kekuatan kepada pria yang dicintainya itu. Dan Revan,,

Revan di sana sedang terkejut dan bahagia. Menikmati indahnya memori seper sekian detik yang lalu. Dia membalas pelukan hangat Ariel yang erat. Dia menjawab semua perasaan Ariel dengan mengalirkan seluruh kehangatan tubuhnya kepada pria yang memeluknya itu.

Cup.. sebuah ciuman juga jatuh dari Revan. Dia menggunakannya untuk mengecup apa yang dapat ia kecup. Bahu mungil milik Ariel. Dia menyatakan semuanya lewat itu. Tak ada kata, namun ada kepastian. Mereka berdua telah melebur. Mereka satu menjadi cinta. Cinta sepasang kekasih yang bermula dari sahabat. Cinta yang rumit dan unik di antara cinta-cinta yang ada di sekitarnya. Kini, inilah yang terjadi.

“I Love You, Riel!” bisik Revan hampir menyentuh telinga Ariel dengan bibirnya.

~ To Be Continued... ~

Dan yaah.. acara peleburan mereka kok timingnya gini yah.. ahahah.. Mianh!! Padahal lagi sibuk ngurusin Geri, tapi malah jadian ni anak berdua. Mianh banget yah guys klo timingnya gk bikin greget. Ahah,, aku cuma mau acara peleburan mereka itu gk norak alias unik. Wkwk.. padahal aslinya mau dibikin kyak kisah-kisah lain loh. Ngajak berduaan, trus ditembak dengan lembut. Abis itu ngangguk dan have a french kiss. Tapi.. Ah, tidak. Rasanya hampir semua tulisanku adegan ngungkapin cintanya selalu aneh wkwkwk~ :V

Episode Selanjutnya Klik Di Sini Say ;*

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8