Love Season Part 9

Love Season Episode 9

Teet.. Teet.. Sebuah suara memanggil Revan dan Ariel dari kegiatan mereka. Di sana tertulis Satu Pesan Video Belum Terbaca. Dan itu adalah ponsel milik Revan.

Ariel menunjukkan wajah penuh tanyanya. Tanpa berkata, dia bertanya siapa yang barusaja mengirimi pesan pada kekasihnya itu. Sementara sang empunya nama nampak bingung dan terkejut. Dia menatap kekasihnya meminta izin. Mereka pun membaca pesan video itu bersama.

TEK.

Itu Geri. Di sana dia duduk sendiri. Terikat di sebuah kursi. Lemah lemas tak bertenaga. Dia bahkan nampak tertidur karena lelah. Apa yang mereka lakukan padanya? Pertanyaan itu muncul seketika dalam pikiran Ariel.

Aku adalah raja. Lihatlah tempat aku duduk sekarang. Dan lihatlah apa yang sedang aku saksikan sebagai hiburan pagi ini.

Tulisan itu muncul beriringan di layar ponsel Revan. Tak sampai sedetik setelah kata-kata itu hilang seutuhnya sebuah gambar kembali terputar. Di sana ada sebuah layar TV yang sedang memutar beberapa adegan hitam putih. Dan ternyata itu adalah rekaman kejadian semalam.

“Jangan asal ngomong lo, yah!” Teriak Ira menunjuk Sinta.

“APA?! Mau Apa Lo!!” balas Sinta ikut berteriak.

Duar..!! Tiba-tiba sebuah kotak kado mengeluarkan suara ledakan.

“Siapa yang punya kado ini, Ger?” Tanya Revan dengan suara meninggi.

“Gk. Doni gk mungkin ngelakuin ini. Dia lagi ada acara keluarga di rumahnya.” Ucap Sinta tak percaya.

“Udahlah Sin! Lo Gk Usah Pura-Pura Lagi! Semua Bukti Udah Jelas. Doni Itu Emang Gk Suka Sama Revan. Dia Itu Benci Sama Revan. Dan Lo Gk Bisa Nyangkal Itu. Lo Juga Udah Bantuin Dia, Kan?” Ira membantah dengan keras.

“Dan jika pun Doni melakukannya, maka bisa kita simpulkan bahwa dia tidak bekerja sendirian.”

“Geri.” Ariel mengucap nama Geri sebagai salah satu yang membantu Doni.

“Tapi itu juga gk mungkin. Karena jika mereka bersekongkol, gk mungkin Geri memberitahu kita dengan jujur bahwa kado yang berisi teror tadi adalah kado dari Doni. Maka opsi Doni berkomplot atau Doni sendiri yang melakukannya bisa kita katakan tidak benar. Dan dari semua itu, yang tersisa ada dua kemungkinan. Pertama jika ada orang yang melakukannya dengan rencana, sudah pasti dia sudah bersekongkol dengan Geri agar Geri memberikannya waktu dengan menggunakan kembang api sebagai alasan. Yang kedua, orang yang melakukan semua ini hanya orang acak, sebut saja orang gila, yang masuk ke sini dan iseng menghancurkan semua ini.” ucap Revan panjang lebar.

“Siapa yang ngasih tahu Lo tentang kembang api itu?”

“Kalian gk kenal siapa dia. Dan maaf, gw gk bisa jawab pertanyaan ini.” ucap Geri berlari ke kamarnya.

Semua kejadian itu terputar kembali dalam video itu membuat Ariel dan Revan sadar bahwa selama ini mereka sudah terperangkap dalam pengawasan orang itu. Hal ini membuat mereka semakin penasaran akan sosok pelakunya. Siapa dia dan kenapa dia melakukan semua ini. Namun video itu masih belum berakhir. Di sana sudah ada seorang pria bertopeng dan berpakaian serba hitam yang sedang berdiri di samping Geri. Tangannya bergerak kasar mempermainkan wajah dan tubuh Geri. Mencoba terlihat erotis dan kejam. Entah kenapa. Sepertinya orang itu sangat berniat memancing amarah Revan dan Ariel.

“Hahahah.. Kalian marah?” ucap pria itu tertawa. Dari suaranya dia nampak begitu senang. Dan hebatnya, dia mengatakan semua itu seakan dia memang sedang melihat langsung ekspresi yang diberikan oleh Ariel dan Revan di luar sana.

“Jika kalian marah. Datanglah!” pancing pria itu sekali lagi ditambah dengan gema tawanya yang menambah panas dada kedua orang yang menontonnya. Tapi hey, bagaimana dia tahu bahwa Revan akan menontonnya dengan Ariel. Tepatnya, kenapa dia menyebut ‘kalian’, bukan kamu? Ah, mungkin itu karena wajar bagi Revan untuk memberi video itu kepada orang lain. Tapi.. ah, orang itu memang penuh misteri.

“Ohiya, jika kalian mau, kalian datang berdua saja yah! Jangan bawa-bawa yang lain. Nanti yang mati makin banyak. Hahahah..” dan tawa itu menghilang seiring kamera itu yang menggelap.

Ariel dan Revan tak habis pikir. Bagaimana bisa orang itu melakukan semua ini? Apa motifnya? Revan dan Ariel sama sekali tak punya musuh. Ada pun kalau orang yang sering bertengkar dengan mereka hanya Doni. Itu pun hanya teman kelas mereka dan yang pasti dia tidak akan mampu melakukan itu semua. Ini terlalu parah untuk ukuran Doni. Tidak mungkin dia tega melakukan itu pada temannya sendiri. Peneroran, penculikan, penyekapan, penganiayaan dan entah apa lagi nantinya.

Kini Ariel memutar tubuhnya menghadap pegunungan di depannya. Wajahnya tertekuk frustasi dan penuh amarah. Di sampingnya, di atas pondok bambu itu, Revan sedang duduk berlawanan arah dengannya sambil menatap layar ponselnya. Memastikan bahwa semua sudah terbaca sambil memikirkan bagaimana cara menyelesaikan semua masalah ini. Jika keberadaannya dengan Ariel saja sudah diperhitungkan, apalagi kalau mereka meminta bantuan polisi atau pihak lain. Mereka pasti akan ketahuan dan itu akan membahayakan nyawa Geri. Jika mereka membawa lebih banyak temannya, ah, mereka tidak sanggup membayangkannya. Maka ini berarti..

“Van!” panggil Ariel menyadarkan Revan dari pikirannya. Ariel tidak sedang memandangnya, hanya tangan kirinya yang sedang menggenggam lengan Revan. Sementara tangan kanannya memegang buku diary Geri.

Revan menarik nafasnya. Dia mempersiapkan dirinya sebelum membaca buku itu. Entah di sana akan ada petunjuk tentang semua ini atau tidak, yang pasti mereka harus membacanya. Sebab dalam hati, mereka yakin bahwa Geri memiliki hubungan dengan orang itu. Mereka yakin bahwa Geri akan menulisnya ke dalam diary ini. Dan di sanalah mereka akan memulainya. Ariel membuka buku itu pelan sambil menggerakkan matanya menyusuri kata demi kata dalam tulisan tangan Geri. Indah tulisannya.

Sunyi. Hidupku hampa. Tak berarti. Tak bermakna. Gersang. Hatiku resah. Hilang. Tak ada yang tersisa. Aku butuh.. Hari yang baru. (12-Juli-2017)

Itu baru dua minggu yang lalu. Halaman kedua dari buku ini sudah memuat tulisan sejak dua minggu terakhir. Berarti di rumahnya masih ada beberapa buku lagi yang seperti ini. Tapi, malam itu mereka tidak menemukannya. Hanya ada buku itu di sana. Apa Geri menyembunyikannya? Ariel nampak bingung, sementara sebuah tangan di sana bergerak membuka halaman yang baru. Dan mereka menemukan sebuah kejutan di sana.

Lembaran baru. Harusnya ini yang aku tulis kemarin. Tapi tak apa. Agar kalian tahu, bahwa hidupku mulai hari ini akan berubah bahagia. Bandingkan dengan hari kemarin. Hari ini, aku bahagia.

Lembaran baru. Aku bertemu denganmu. Awalnya hanya melihatmu dan menatapmu. Aku tak tahu bahwa kau menyadari hadirku.

Lembaran baruku.. Senyumanmu. Terima kasih telah menyambutku. Terima kasih telah membalas tatapanku. Terima kasih telah menerima hadirku. Meskipun aku masih malu.

Lembaran baruku. Sangat ingin aku menghampirimu. Tapi.. Aku tak berani.

Tapi.. Aku sangat bahagia. Lembaran baruku.. Aku sangat terkejut. Ini adalah kejutan terindah bagiku. Kau datang, menemaniku. Membeberkan senyummu. Untukku.

Terima kasih. Aku bahagia karenamu. (13-Juli-2017)

Tulisan-tulisan itu menyayat mata begitu saja. Lembaran baru dan bahagia. Ariel menatap Revan. Inikah pria itu? Sekali lagi mereka membuka lembaran-demi lembaran buku itu dan membacanya.

Jumat kelabu. Tidak. Kini tidak lagi. Sudah ada dia. Dan tebak, apa yang aku dapatkan hari ini!

Sayang, aku juga menyukaimu. Aku menyukaimu sejak pertama melihatmu. Tapi apalah dayaku, aku tak sanggup mengucapnya.

Sayang, terima kasih. Hari ini kamu sudah mengubah seluruh hidupku. Dari kelabu menjadi penuh warna. Bak pelangi yang indah.

Sayang, I Love you. I Love you too. Aku cinta kamu dan ciuman pertama kita. (14-Juli-2017)

Semalam kami berciuman. Kamu tahu, awalnya aku hanya bingung. Apa yang dia lakukan di rumahku. Dia bahkan berani berkata bahwa dia ingin bermain bersamaku. Dia ingin mengunjungiku karena rindu pada adiknya. Tapi akhirnya aku sadar, itu hanya alasan agar dia bisa duduk berdua denganku. Di kamarku. Dan dia mengatakannya di sana. Perlahan dia menyentuh tanganku dan menggenggamnya erat. Aku hanya menerimanya dengan pasrah namun was-was. Apa ini artinya? Namun di balik semua itu, aku juga berharap besar akan sesuatu. Dan itu terjadi. Dia menyatakan perasaannya. Perasaan yang sama denganku. Dan satu ciuman yang begitu nikmat melesat ke mulutku. Itu adalah ciuman ternikmat dan pertama yang pernah ku dapat.

Dan hari ini. Aku akan ke rumahnya. Dia memintaku bermain ke rumahnya malam ini. Tentu saja aku akan pergi. Bahkan menginap pun aku dibolehkan oleh orangtuaku. Tahu kenapa? Dia adalah tetangga baruku. Kekasih baruku sekaligus tetangga baruku. Yang dianggap bagai tokoh kakak untukku. Orangtuaku merasa iba karena aku yang hanya bisa menyendiri. Karena itu kami dibiarkan selalu bersama. Biar kamu ngerasa punya kakak, katanya. Lucu jika memikirkannya.. karena pada akhirnya, kami justru berakhir dalam cinta. Hey, mengapa aku bercerita seperti ini? Hahah, entahlah. Aku tak yakin akan ada orang yang membaca ini. Tapi biarlah, rasanya aku punya teman curhat jika menulis seperti ini. (15-Juli-2017)

Revan dan Ariel saling bertatapan lagi. Mereka mendapat satu petunjuk. Tetangga Baru. Siapa tetangga baru yang dimaksud Geri? Mereka harus mencari tahu hal ini secepatnya. Tapi tunggu, masih ada beberapa lembar lagi yang belum terbaca. Apa tidak apa? Tidak apa-apa. Mereka langsung menutup buku itu dan mengikatnya lagi. Dimasukkan ke dalam tas dan segera menuju motor besar Revan. Dengan kecepatan penuh, mereka menuju rumah Geri. Mencari orangtuanya atau rumah tetangga baru itu. Sepertinya rumah tetangga baru itu lebih penting. Orangtua Geri tidak bisa dilibatkan. Pria itu akan melakukan hal gila jika mengetahuinya.

“Van, aku sayang kamu.” Ucap Ariel melepaskan gundahnya. Tangannya sudah lama melingkar erat memeluk tubuh Revan. Tubuh dan dadanya juga sudah menempel kuat pada punggung kekasihnya itu. Sementara yang punya nama hanya bisa tersenyum sambil memelankan laju motornya menuruni jalanan gunung yang berliku.

Sepanjang jalan mereka habiskan hanya dengan saling mencurahkan kata sayang dan kata cinta. Saling berbagi pengakuan demi mendapatkan kekuatan diri. Mereka harus kuat menghadapi kekhawatiran yang melanda. Tak bisa diam saja. Mereka akan menghadapi bahaya berdua. Tidak ada yang menolong mereka. Mereka harus kuat dan tangkas demi temannya yang lain. Geri. Jadi selama mereka tidak bisa menggantungkan diri kepada orang-orang yang lebih dewasa, mereka berdua saling memandikan dengan kekuatan cinta. Semoga saja hari mereka bersama tidak akan berakhir cepat. Semoga saja kebahagiaan itu akan bertahan lama.

“Van, kita gk akan pisah, kan?” tanya Ariel khawatir. Masih ada sedikit takut di hatinya. Perbuatan pria itu sangat berani. Dia sudah sangat jauh dari batas wajar. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Mungkin saja kisah ini akan berakhir dengan cepat, mungkin juga kisah ini akan bertahan lama membawa luka bagi salah satu dari mereka. Tidak, Ariel tidak rela memikirkan kemungkinan itu. Dia tidak ingin ditinggalkan oleh kekasihnya saat ini. Dia juga tidak ingin membuat kekasihnya bersedih sepanjang waktu karena mungkin akan kehilangan dirinya. Tapi, semua ini harus dihadapi. Dan hanya boleh dilakukan oleh mereka berdua.

Teet... Bunyi bel itu menyeruak memanggil seorang Bapak Tua penghuni rumah untuk melihat siapa pengunjungnya. Di sana berdiri dua orang remaja putra yang sedang membaca papan nama yang tertempel di depan rumahnya yang bertuliskan Ketua RT itu.

Cklk.. Pintu akhirnya terbuka. Nampak seorang Bapak Tua berpeci putih dengan selembar singlet yang menempel di tubuhnya ditemani selembar sarung yang melingkari dirinya dari pinggang hingga ke bawah lututnya.

“Permisi Pak, maaf mengganggu waktu Bapak, kami sedang mencari Pak RT di sini, apa benar di sini rumahnya?” tanya Ariel mencoba membuka percakapan mereka.

“Oh, benar sekali nak, ada keperluan apa? Ayo! Ayo! Duduk dulu di dalam!” ajak bapak itu tiba-tiba berubah segar dari wajah awalnya yang nampak tertekuk ngantuk saat keluar membuka pintunya tadi.

“Ah gk usah Pak, gk perlu repot-repot, kami hanya sebentar kok di sini.” Tolak Ariel dengan cepat.

“Gk apa-apa Yang, kalau kita di sini, nanti si Bajingan itu akan mengetahui apa yang kita lakukan.” Bisik Revan dengan cepat.

“Tapi emang dia selalu tahu sayang.” balas Ariel dengan bisikan pula. Tanpa sadar ia mengucap kata yang selama ini enggan ia ucapkan. Sayang.

Sementara itu si Bapak sudah masuk dan duduk di dalam. Mungkin ia tak mendengar penolakan dari remaja di depan pintu rumahnya itu. Beliau justru asik menyahuti istrinya untuk membawakan minuman untuk Ariel dan Revan.

“Kalian kenapa masih di situ? Mari masuk!” sahut Bapak itu kembali dan membuat Revan dan Ariel terpaksa melangkahkan kakinya lebih dalam ke dalam rumah itu.

“Duduk di sini!” ucap bapak itu sambil menunjuk sofa panjang di depannya. Ariel dan Revan pun menuruti perintah bapak itu. Nampak kesopanan mereka yang membuat bapak itu terpukau. Rupanya masih ada juga anak muda yang sopan seperti mereka. Itu pikirnya.

“Jadi, nama kalian siapa?” buka bapak itu kembali. Laga dan wibawanya bak ketua rt yang masih berusia 30 – 40 tahunan. Padahal beliau sudah nampak seperti orang berusia di atas 70 an.

“Aa,, nama sayaa,, Ariel Pak. Ini teman saya Revan.” Jawab Ariel sekaligus memperkenalkan Revan.

“Oh, kalian dari SMA mana? Kok seragamnya tidak dilepas dulu?” ucap bapak itu membuat mereka sadar bahwa mereka masih mengenakan seragam sekolah mereka.

“Oh shit!” rintih Revan dalam hatinya yang menunjukkan ekspressi kesal di wajahnya.

“Hahahah... Kalian berdua ini lucu sekali. Bolos sekolah tapi masih tetap memakai seragam.” Ucap bapak itu penuh tolerant yang mengejutkan. Rupanya beliau bukan orang yang suka menceramahi anak muda seperti yang orang-orang seusianya sering lakukan. Hal itu cukup membuat Ariel merasa senang dan Revan tentunya ikut bahagia bila Ariel bahagia.

“Jadi, tujuan kedatangan kalian kemari ada keinginan apa?”

“A,,”

“Ohiya, panggil saja bapak, Pak Rosyid, yah?” pintanya menghela usaha Ariel untuk mulai berbicara. Kemudian ia meminta Ariel untuk melanjutkan kata-katanya.

“Jadi gini pak,, kami, ingin memberi hadiah kepada teman kami. Tapi hadiah itu bentuknya orang. Nah, orang itu adalah orang yang baru saja tinggal di sekitar rumahnya, tapi kami tidak tahu orang itu yang mana. Jadi kami ingin minta tolong pada Bapak, kami ingin menanyakan siapa orang yang baru pindah tersebut.”

“Ooh,, begitu. Jadi kalian ingin mencari orang pindahan yang terkahir masuk ke Rt ini?”

“Iya Pak, benar.” Ucap Ariel melanjutkan.

“Baik kalau begitu saya ambilkan catatannya dulu yah. Maklum, saya sudah tua. Suka lupa nama orang baru.”

“Ah iya Pak. Tidak apa-apa.” sahut kedua pemuda itu berbarengan. Kemudian bapak itu berdiri dan mengambil catatan itu.

Cukup lama, Ariel dan Revan masih menunggu bapak itu keluar dari kamarnya. Istrinya sudah membawakan minum untuk mereka berdua, namun beliau masih harus mengurus makanan di dapur juga, jadi tak bisa menemani mereka. Tiba-tiba..

“Buk, Arif mau keluar dulu yah.” Sahut seorang pria muda berjalan keluar dari dalam rumah melewati ruang tamu tempat Ariel dan Revan duduk. Pria itu... Suaranya... Posturnya... Dan,, kejadiannya. Dia adalah satpam yang semalam dipanggil oleh Ira dan yang lain. Jadi dia adalah putra dari ketua RT di sini? Tapi suaranya tadi, apa mungkin?

“Riel?” Revan memanggil Ariel yang nampak begitu fokus pada pria itu. Pria itu pun berhenti dari langkahnya yang hampir keluar dari pintu rumah itu. Bahunya perlahan memutar. Baru ingat dia bahwa dia memiliki tamu di rumahnya.

“Oh ada tamu yah.” Ucapnya dengan cengirannya yang mencoba terlihat ramah. “Maaf yah, saya tadi tidak melihat kalian.” Lanjutnya dengan senyuman yang semakin lebar dengan mata yang tertutup.

“Riel?” panggil Revan kembali berusaha menyadarkan Ariel yang tak kunjung sadar dari lamunannya.

“Ah iya Mas. Ga apa-apa kok. Kami juga kaget melihat Mas.” Sahut Ariel dengan cepat. Nampaknya dia mulai terbiasa berakting. Kini ia berakting layaknya tamu yang ramah. Sementara dalam hatinya dia menyimpan banyak kecurigaan pada pria itu. Lagi dan lagi. Sementara pria itu. Dia malah semakin sumringah nampaknya.

“Ohiya. Ada yang bisa Mas bantuin gak?” ucap pria itu lagi.

Tapi, sekilas sebelum Ariel menjawab, ia berkata.

“Kalian, bukannya yang semalam temannya diculik itu yah?” sahutnya sekali lagi. Wajahnya tidak tampak gugup sekalipun. Berbeda dengan yang dibayangkan Ariel. Seharusnya pria itu gugup karena Ariel dan Revan sudah setengah jalan menemukan tersangka bila ia memang bekerjasama dengan tersangka tersebut.

“Iya Mas, kami yang semalam. Kami di sini ingin mencari sesuatu. Gk banyak kok. Pak Rosyid juga sedang membantu mencarikannya untuk kami.” Ucap Revan berinisiatif. Ariel masih diam memikirkan reaksi pria yang dicurigainya tersebut. Tiba-tiba, ada yang lain dari reaksi pria itu. Setidaknya begitulah hasil pengamatan yang dilakukan Ariel. Wajahnya nampak sedikit berpikir, mungkin ia memikirkan tentang usaha yang sedang dilakukan Ariel dan Revan dan bagaimana cara menanganinya. Hanya saja Ariel masih tak punya bukti.

“Oh begitu. Kalau begitu mas tinggal yah. Kalau butuh apa-apa, kalian juga boleh menghubungi mas. Nomor telpon mas ada di kantor satpam dan di depan rumah ini.” sahutnya mencoba ramah.

Jelas sekali, itu sebuah kamuflase. Itu hanya tipuan agar ia bisa terus mendapatkan informasi dari kami. Itulah yang dipikirkan Ariel. Sementara pria yang ditatapnya itu sudah menghilang sejak beberapa detik yang lalu setelah Revan menyahut mengiyakan tawaran dari satpam tersebut.

“Riel!” tegur Revan membuat Ariel sedikit tersentak. Wajahnya nampak sangat terkejut sementara Revan menatapnya dengan tatapan sangat cemas.

“Kamu jangan terlalu cemas. Pikirkan dengan tenang. Memang mungkin ada kemungkinan, orang itu yang menculiknya, tapi untuk sekarang kita tidak punya buktinya. Kita sedang melangkah untuk itu, jadi..” Revan berhenti. Kata-katanya terpotong. Tangannya yang sejak tadi mengusap Ariel kini terdiam dalam genggaman Ariel. Giliran Ariel yang menyentuh dan mengusap-usap tangan itu dengan lembut.

“Iya sayang. Aku minta maaf. Makasih udah ngingetin aku. Aku akan selalu di sini menemani kamu.” Ucapnya hampir mencium tangan Revan. Dan tentu saja itu membuat Revan merasa sangat bahagia dan tersenyum senang. Pria yang dicintainya hampir kelepasan menciumi tangannya hingga Pak Rosyid keluar mengejutkan mereka dan membuat adegan dramatis itu berhenti di situ.

Masih dengan sarung dan singlet yang sama, pak Rosyid berjalan menuju mereka sambil memegang sebuah buku tebal berisi daftar nama warga dan alamatnya. Matanya yang kini sudah dilengkapi kacamata, dengan fokus menyisir semua daftar itu hingga ia sampai ke tempat duduknya. Ariel dan Revan, dengan sabar menunggunya sampai dan memberi mereka jawaban yang mereka cari.

“Ini ada satu orang, namanya Arman Subekti. Dia pindah ke sini sejak dua minggu yang lalu. Tanggal 12 dia sudah menempati rumahnya.” Ucap pak Rosyid kemudian menyodorkan buku di tangannya ke hadapan Ariel dan Revan. Tangannya menunjuk tepat ke nama orang yang baru saja ia bacakan untuk mereka. Dengan sigap, Revan dan Ariel mencatat semua info yang mereka perlukan dan menanyaka beberapa info tambahan kepada bapak itu. Dan setelah itu, mereka dengan cepat berpamitan pulang dan diantarkan oleh Pak Rosyid hingga depan pintu rumahnya.

Ariel dan Revan langsung berniat menuju alamat yang tertera, namun ada sedikit perubahan pada Ariel. Dia meminta Revan untuk mencoba mencari pos satpam terlebih dahulu karena dia tidak sempat membaca papan nama di rumah satpam itu tadi. Sebelumnya mereka hanya fokus pada nama dan label ketua RT yang ada di depan pintu rumah pak Rosyid, tidak pada papan nama yang tenyata ada di sekitar taman emperan rumahnya.

“Stop!” ucap Ariel setelah melihat pos satpam sekitar tiga dua meter di hadapannya.

Kelihatannya sepi. Tapi ada bekas nampan dan beberapa gelas kopi yang tertutup. Pasti ada orangnya, pikir Ariel. Namun bagaimana pun, mereka tak menemukan orang-orang itu. Dan rupanya beberapa rumah dari pos satpam itu ada orang yang sedang bekerja dan para satpam itu sedang membantu mereka. Tapi tak ada satpam tadi di antara mereka.

“Riel!” panggil Revan menyadarkan Ariel dari lamunannya. Segera Ariel mengalihkan pandangannya dan memberikan senyuman pada Revan lalu tenggelam dalam kseibukannya mencari nomor yang dikatakan satpam tadi. Namanya, wajahnya dan nomornya. Ariel merasa bodoh karena tak mengamati tag nama orang yang dicurigainya sejak semalam. Tapi tak butuh waktu lama, Ariel menemukannya.

Hanya ada beberapa orang satpam di sana. Setidaknya ada 5 orang dari mereka dengan jadwal yang berbeda dan bergantian.

Revan ikut mengamati papan itu. Ariel terhenyak.

“Namanya, sama.” Ucap Ariel seakan syok. Dalam pikirannya berkecamuk antara benar dan tidaknya kecurigaannya selama ini.

“Riel,,” sahut Revan menatapnya sangat cemas. Tangan revan sampai tak tahan harus menyentuh pipi milik pria yang matanya terbulat akibat terkejut itu.

~ To Be Continued... ~

Revan dan Ariel menuju sebuah Rumah. Rumah itu ternyata tepat berhadapan dengan Rumah Geri. Mereka menekan-nekan bel rumah itu, berharap ada jawaban meski mereka tahu itu mustahil. Tak mungkin pria itu menunjukkan dirinya begitu saja. Dan itu membuat mereka sangat frustrasi. Hingga seseorang yang tak terduga datang dan memberi mereka petunjuk.

Hey Yah, panjang tak berguna. Apa kalian merasa cerita ini panjang tapi tak ada artinya? Tenang, karena klimaks gk bisa setiap saat. Heheh.. Sok tahu deh aku. Kyak orang udah jadi penulis profesional aja. Heheh.. Anyway, thanks for coming back. Selamat melanjutkan kisah ini!

Episode Selanjutnya Klik Di Sini Yah Guys :*

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8