Cowok Cantik Part 4

Cowok Cantik Part 4

Aku masih di toilet. Bersama seorang cowok yang sangat aneh dan membingungkan.

"Lu geer banget sih? Emangnya tampang gw se-mesum itu?" katanya sambil mengelap pelan darah pelipisnya.

Aku bingung mau jawab apa. Rasanya malu juga. Tapi aku gk boleh kehilangan muka.

"Iya muka lo itu mesum, seram, dekil. Mirip kriminal. Lagian, klo gk mau macam-macam, lu tadi mau ngapain majuin muka lo ke muka gw?" ujarku yang dibalasnya dengan gelengan ringan.

Sambil menarik dalam nafasnya, dia memutar matanya keatas. Lalu menghembusnya keras.

"Gw gk tau darimana datangnya over-PD lu itu. Yang pasti itu nyusahin. Lo pasti gk mau kalah meskipun udah tau salah. Intinya, tadi gw cuma mau mastiin aja." jawabannya cukup menusuk. Karena dia adalah orang pertama yang mengatakan itu padaku selain diri ku sendiri. Dan mengetahui kenyataan itu keluar dari mulut orang lain, aku ngerasa benar-benar down. Ternyata aku se-salah itu yah? Tapi aku gk mau lama-lama mikirin itu dan terhanyut untuk merajuk. Masih ada kata-katanya yang harus dia jelasin. Yaitu kata "Mastiin" yang dia kasih penekanan khusus sebelumnya.

"Terserah lo mau ngomong apa. Tapi maksud lo mastiin tadi, apaan?" tanya ku sedikit memaksa. Tapi dia tidak sedikitpun terlihat gentar. Dia justru menjawab dengan tenang.

"Gw tadi mastiin kalo ini beneran lo."

"Emangnya kenapa klo ini gw?" sengit ku lagi. Mungkin ini yang tadi dia ungkit-ungkit tentang ku. Gk mau kalah.

"Karena ini beneran lo. Berarti gw dapat jackpot. Berduaan sama cowok cantik di toilet sekolah."

Bug!

Sekali lagi tangan ku melayang. Tapi kali ini tidak sampai mengenainya karena tangannya sudah lebih dulu menahan tangan ku. Anehnya dia tidak marah. Dia malah tersenyum dan menunjuk-nunjuk pelipisnya yang masih mengalirkan darah itu.

"Yang ini aja masih belum kering. Masa lu udah mau mukul lagi?" katanya enteng.

"Gw tau lo bukan tipe orang kasar. Jadi gk usah maksain diri. Mending sekarang lu tanggung jawab dengan bantuin gw bersihin luka gw. Masalah minta maaf, terserah lu deh. Gw gk maksa."

"Lo,"

"Eits.." tahannya dengan menunjuk jarinya ke bibir ku. Dengan cepat dia menariknya kembali dan melanjutkan.

"Gw belum selesai. Dengerin baik-baik. Gw yakin lu tau kalau nonjok gw hanya karena hal tadi adalah sebuah kesalahan. Dan gw tau, meskipun lo tau, ego lu cukup besar untuk pura-pura gk tau karena lu gk mau kalah." mulut ku terbuka. Ingin rasanya aku mencaci anak sok tau ini. Tapi niat itu urung aku lakukan. Rasanya seperti ada yang memberitahu hati ku untuk mendengarkan dia.

"Nah, sifat itulah yang mungkin bikin lo nangis barusan. Maaf kalo gw ikut campur, tapi gw punya saran buat lo. Simpan ego lu buat beberapa saat. Ambil kata maaf di hati lo yang jarang lo pake itu. Mau mereka yang salah atau lo yang salah. Cobalah untuk meminta maaf terlebih dahulu. Kalau lo bisa melakukannya seperti itu, gw yakin, lo gk bakalan nyesel. Justru lo bakal bersyukur." lanjutnya panjang lebar dan akhirnya selesai.

Aku pun menunduk. Dia ada benernya. Dan aku salah. Salah total. Rasanya aku pengen nangis lagi. Kali ini ada tambahan rasa kesal yang lebih besar lagi. Sementara dia berjalan ke westafel samping ku. Dia mulai membasuh wajahnya. Meskipun aku gk merhatiin dia dengan jelas, tapi aku tahu. Dia mulai beranjak. Melangkah meninggalkan ku.

Tap,, tap,, tap,, suara langkahnya terdengar jelas. Dan bahkan terdengar seperti deruman drum di dada ku. Pelan tapi pasti langkahnya menjauh.

"Ri, gw minta maaf!" ucap ku sedikit berteriak. Agak susah menerobos ego yang bergantungan di kepala ku. Aku masih belum berbalik badan. Aku masih dalam posisi menunduk. Membelakangi dia yang mendekati pintu. Sementara dia tak terdengar memberikan jawaban apapun. Takut dia gk dengar, aku pun berbalik. Menatap punggungnya dan berkata.

"Maafin gw, Ri! Gw gk harusnya terlalu sensi sama lo." kali ini terasa mudah. Meski belum bisa dibilang lancar. Dada ku berdetak kencang hanya karena gugup mengucap maaf. Tapi dia gk ngejawab dan malah lanjutin langkahnya. "Ri, izinin gw bersihin luka lo."

Sekali lagi aku mencobanya. Mencoba jujur pada diri ku sendiri. Dan dia berbalik. Hati ku rasanya begitu bahagia. Dia tersenyum. Membuat ku merasa bahwa usaha permintaan maaf ku gk sia-sia.

"Gw harus bertanggung jawab, kan?" ucap ku melipur dia dan diri ku sendiri. Setidaknya dia mulai mempercepat langkahnya.

"Gitu dong. Lu kan gk jadi nangis terus kalo berani minta maaf." katanya sambil menunjukkan senyuman khasnya.

"Duduk di lantai, mau?" katanya lagi menawarkan. Harusnya aku yang punya dialog itu. Tapi dia mengatakannya lebih dulu. Mungkin karena aku kelihatan kaku dan loading lambat. Aku jadi terkesan sama anak ini. Ternyata dia gk seburuk yang aku pikir.

Episode Selanjutnya Klik Di Sini Say ;*

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8