Cowok Cantik Part 8

Cowok Cantik Part 8

"Den Rama? Den Ramanya masih di rumah sakit, Den."

"Rama di rumah sakit? Sejak kapan, Bi?" tanya ku panik.

Kalau boleh jujur, dada ku waktu itu serasa kayak ditendang pas di ulu hati. Sakiit banget.

"Sudah dua hari, Den. Mag kronisnya kambuh. Soalnya pas pulang dari sekolah hari rabu, Den Rama ngurung diri di kamar. Besoknya bibi lihat den Rama pulang sekolah jam 8 pagi. Terus ngurung diri lagi. Den Rama gk makan apa-apa selama dua hari, Den. Malamnya mama sama papanya maksa masuk kamar sampe di dobrak. Eh, taunya Den Rama udah pingsan."

"Makasih Ya, Bi. Kalau gitu. Kita pamit dulu." ucap Heri memberi hormat pada pembantu Rama.

 "Yuk, San!" lanjutnya menarik tanganku. Sementara aku masih sulit mengendalikan diri ku. Ada rasa shock yang amat mengguncang batin ku. Dan Heri menyadari itu. Itulah kenapa dia mengambil alih.

"Ini semua karena gw." gumam ku mulai menerang di telinga Heri.

"Lo jangan mikir kayak gitu, San! Jangan! Lagipula sekarang dia udah di rumah sakit. Dia pasti bakal baik-baik aja. Lo gk usah mikir macem-macem! Ok?" aku gk menjawab. Meskipun Heri benar, tapi rasa shock ku masih susah aku kalahin.

"Kami mencari pasien atas nama Rama Herlambang, ada gk Sus?"

"Pasien atas nama Rama Herlambang ada di kamar 207. Naik lift ini, terus belok kanan." terang seorang resepsionis menunjuk sebuah lift yang terletak beberapa meter di samping kanannya.

Tanpa berbicara lagi Heri langsung menarik ku kesana. Sejak dari rumah Rama, Heri gk pernah lepasin tangannya dari tangan ku. Dan aku membiarkannya karena aku merasa membutuhkannya.

Sekarang kami sudah di depan kamar 207. Kamar yang menampung Rama saat ini. Perlahan tapi pasti Heri mulai melepaskan tangan ku. Aku menatap matanya seakan mengadu bahwa aku gk berani. Aku belum siap melihat Rama sekarang.

"San, dengarin gw! Rama di sana membutuhkan lo. Dia gk pernah benci sama lo. Lo tau itu, kan?" katanya menguatkanku. Kini ia kembali menggenggam kuat lenganku. Sambil mengatur nafas, aku mengangguk pelan.

"Sekarang lo masuk, jujur sama diri lo sendiri, jujur sama dia, katakan apa yang mau lo katakan! Ok? Lu siap?" aku hanya bisa menarik nafas ku dalam-dalam. Sampai akhirnya,,

Tok Tok Tok.. Heri mengetuk pintu kamar itu dan mendorong ku masuk sendirian. Awalnya aku malu, tapi aku berhasil menguasai diri.

Di sana ada Rama dan Nyokapnya. Aku lihat Rama sangat terkejut melihat aku di sini. Sementara nyokapnya menatap aneh melihat tingkah ku.

"Siang, Tante! Saya Sandi, teman PMRnya Rama di sekolah." ucapku memperkenalkan diri dengan gaya yang ku buat sebiasa mungkin.

"Oh, temannya Rama! Kok sendirian?" sambut nyokapnya Rama menjabat tangan ku sambil melesakkan satu pertanyaan yang sangat sulit untuk aku jawab.

"A,, Anu Tante, itu.. Uhm.."

"Ma, Rama mau ngobrol berdua sama Sandi bentar, boleh? Mama juga belum makan siang, kan? Makan dulu aja, mah! Ntar mama sakit lagi. Ntar kalo Sandi udah mau pergi, aku sms mama, yah?" pinta Rama membujuk nyokapnya.

Baru kali ini aku dengar cara ngomong Rama sama orang tua-nya. Ternyata dia sayang banget sama nyokapnya. Begitu pula sebaliknya.

"Yaudah sayang, mama pergi yah. Klo ada apa-apa langsung telpon mama! Ok?"

"Siap, Mah!" sahut Rama lega. Satu ciuman di keningnya tanda kasih sayang tulus nyokapnya aku lihat dengan takjub.

Sekarang nyokapnya udah pergi. Tapi aku masih diam. Lidah ku kelu. Gk tau mau ngomong apa. Aku menunduk menatap lengan Rama yang tersambungkan selang infus. Aku gk berani mandang mukanya apalagi natap matanya. Perlahan aku beranikan diri memegang tangannya. Awalnya hanya mencoba menyentuh. Akhirnya aku malah mencekramnya dengan erat.

"Maaf, San!"

"Shh.!" tangan ku menghentikan kata-katanya. Telunjuk ku ada di sana. Menempel dengan bibir pucatnya. Lama. Seakan aku mulai memberinya kesempatan untuk merasakan kecupan telunjuk ku.

"Kenapa lo gk ngangkat telpon gw? Kenapa lo malah sakit-sakitan di belakang gw? Kenapa lo setega itu ninggalin gw dengan semua hasil kerjaan lo yang gk waras itu? Kenapa lo gk ngasih gw kesempatan buat ngomong sama lo? Kenapa lo setega itu bikin gw ngerasa bersalah? Kenapa lo mengutuk diri lo sendiri cuma buat gw? Kenapa lo menyiksa diri lo sendiri? Kenapa lo selalu nyakitin gw? Kenapa?" aku mulai nangis. Entah darimana datangnya semua kata-kata dan air mata itu. Aku gk tau. Aku cuma tau, aku udah mengatakannya. Dan Rama terkejut mendengarnya.

"Maaf, San,,"

"Shh,, diem!" ucap ku sekali lagi mengandalkan telunjuk ku. "Kenapa lo selalu minta maaf ke gw? Seharusnya gw yang minta maaf sama lo. Gw udah bikin lo jadi kayak gin.." Cup..

Sandi terdiam. Ya, aku terdiam. Rama mencium bibir ku di tengah kata-kata ku. "Gk ada maaf lagi. Ok?"

Episode Selanjutnya Klik Di Sini Say ;*

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Pertama dengan Si Dia

Cowok Cantik Part 1

Love Season Part 8